Kamis, 22 April 2010

Al-Asy'ari (ahlussunnah)

A. AL-ASY’ARI
1. Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.


Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli Hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’ari, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu‘tazilah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah.
Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia rnengumumkan di hadapan jamaah mesjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-l0, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar rneninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

2. Doktrin-doktrin Teologi Al-Asy’ari
Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini.
a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat yang dijelaskan oleh Mu’tazilah, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya. Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
b. Kebebasan dalam Berkehendak (Free- Will)
Al-Asy’ari membedakan antara kholiq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipca (khaliq) perbuatan manusia,. sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c. Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
d. Qadimnya Al-Quran
Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Quran bagi Al-Asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat:
Artinya. “Jika kami menghendaki sesuatu. Kami bersabda, “Terjadilah”
maka ia pun terjadi” (QS. An-Nahl [16]: 40)
e. Melihat Allah
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru‘yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatNya.
f. Keadilan
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak.
g. Kedudukan Orang Berdosa
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.

Ilmu Kalam

Pengertian Ilmu Kalam

Menurut Musthafa Abdul Raziq, ilmu Kalam adalah yang berkaitan dengan akidah imani ini sesungguhnya dibangun diatas argumentasi-argumentasi rasional. Atau ilmu yang berkaitan dengan akidah islami ini bertolak atas bantuan nalar.
Menurut Al-Farabi : Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan Sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin islam. Stressing akhirnya adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis.
Menurut Ibnu Kaldun Ilmu Kalam adalah disiplin Ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.

Apabila memperhatikan definisi ilmu Kalam diatas, yakni Ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan Argumentasi logika atau Filsafat, Secara teoretis aliran Salaf tidak dapat dimasukkan ke dalam aliran Ilmu Kalam, karena aliran ini dalam masalah-masalah ketuhanan tidak menggunakan argumentasi Filsafat atau Logika Aliran ini Cukup dimasukkan kedalam Aliran ilmu Tauhid atau Ilmu ushuluddin atau Fiqh al-akbar.

Alasan Ilmu ini disebut Ilmu Kalam !?

Problema yang diperselisihkan para ulama dalam ilmu ini yang menyebabkan umat islam terpecah kedalam beberapa golongan adalah masalah kalam Allah atau Al-Qur’an : Apakah ia diciptakan (makhluk) atau tidak (qadim).
Materi-materi ilmu ini adalah teori-teori (kalam) tidak ada yang diwujudkan kedalam kenyataan atau diamalkan dengan anggota.
Ilmu ini di dalam menerangkan cara atau jalan menetapkan dalil pokok-pokok akidah serupa dengan ilmu mantik.
Ulama-ulama mutaakhirin membicarakan di dalam ilmu ini hal-hal yang tidak dibicarakan oleh ulama shalaf, seperti penakwilan ayat-ayat mutasyabihad, pembahasan tentang qada’, qolam, dan lain-lain.

Materi Kajian Ilmu Kalam

Hal-hal yang berkaitan dengan Allah S.W.T. termasuk didalamnya tentang ketentuan takdir Allah kepada mahluk-mahlukNya.
Hal-hal yang berkaitan dengan utusan Allah Sebagi Perantara (wasilah) antara Allah dengan manusia, seperti malaikat, para nabi / rasul, dan kitab-kitab suci yang telah Allah turunkan.
Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sesudah mati seperti surga, neraka, dan seagainya.

Sumber-sumber Ilmu Kalam

Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an banyak menjelaskan tentang dzat, sifat, asma, perbuatan, tuntunan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan seperti yang trdapat dalam Q.S. Al-Ikhlas : 3-4, Q.S. Asy-Syura : 7, Q.S. Al-Furqan : 59, Q.S. Al-Fath : 10, Q.S. Thaha : 39, Q.S. Ar-Rahman : 27, Q.S. An-Nisa’ : 125, Q.S. Luqman : 22, Q.S. Ali Imran : 83, Q.S. Ali Imran : 84-85, Q.S. Al-Anbiya : 92 dan Q.S. Al-Hajj : 78.
Hadits
Hadits Nabi S.A.W. yang menjelaskan tentang hakikat keimanan.
Hadits yang dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam Ilmu Kalam.

garaa versus tap



Garaa versus tap? wah kayak mana kelanjtannya ya????? menurut q sih pasti yang menang itu ya garaa. liat aja segala jurus-jurusnya. ryusabakuryu. itu kan ombak pasir, sedangkan tap ga bisa. terus tap buta lagi. garaa kan bisa terbang waktu melawan anggota akatsuki deidara. wakakakak. garaa pasti menang. iya juga kalau pelem ni ada. namanya juga animasi buatan. tapi katanya, aq dengar-dengar sih, tap yang menang. ada sudah katanya pelemnya. bener ga ya??? ada yang tau?? tell me dong. hehehe.

Makalah Umar bin Khattab

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian, mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (Komandan orang-orang yang beriman).
Kepemimpinan Umar bin Khattab selama lebih dari sepuluh tahun sebagai Amirulmukminin, sebagai pemimpin dan kepala pemerintahan, dengan prestasi yang telah dicapainya memang terasa unik, jika kita baca langkah demi langkah perjalanan hidupnya itu, dan cukup mengesankan. Umar sebagai Khalifah tidak sekadar kepala negara dan kepala pemerintahan, lebih-lebih dia sebagai pemimpin umat. Ia sangat dekat dengan rakyatnya, ia menempatkan diri sebagai salah seorang dari mereka.
Umar bin Khattab sosok yang disiplin, tegas, adil, bijaksana, sederhana dan sangat mencintai umat. Inilah sosok salah satu pemimpin terbaik yang dimiliki oleh umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka kami akan merumuskan masalahnya sebagai berikut:
a. Bagaimana biografi Umar bin Khattab ra?
b. Bagaimana Umar bin Khattab memeluk Islam?
c. Bagaimana pengangkatan Umar bin Khattab ra menjadi khlaifah?
d. Bagaimana sistem pemerintahan Umar bin Khattab ra?
e. Bagaimana wafatnya Umar bin Khattab ra?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Umar Bin Khattab ra
Umar bin Khaththab adalah salah seorang pemuka Quraisy yang sangat berpengaruh di kalangan bangsanya. Ia adalah seorang yang gagah berani, cerdas, tangkas, dan kuat. Kegagahan, keberanian, dan pengaruh Umar bin Khaththab seimbang dengan kegagahan dan keberanian Abu Jahal. Umar termasuk salah seorang pemuka musyrik Quraisy yang sangat memusuhi Nabi saw. sebagaimana Abu Jahal. Oleh sebab itu, tidak jarang ia menganiaya dan menyakiti para pengikut Nabi. Bahkan, ia pernah menyiksa budaknya yang telah menjadi pengikut Nabi.
Silsilah Umar bin Khaththab ialah bin Nuafil bin Abdul Uzaza bin Rayah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr. Jadi silsilahnya bertemu dengan silsilah pribadi Nabi saw. pada Ka’ab, kakek yang ketujuh dari Nabi. Sesudah ia memeluk Islam, ia mendapat gelar al-Faruq yang artinya pemisah antara yang benar dan yang salah dan di kalangan kaum muslimin, ia terkenal pula dengan sebutan Abu Hafash yang artinya ‘Bapak Singa’. Kedua sebutan itu sangat selaras dengan jejak-jejak dan perjuangan beliau sejak memeluk Islam sampai wafatnya.
Kapan Umar dilahirkan? Suatu hal yang tidak mudah dapat dipastikan. Yang jelas ia meninggal sekitar tiga hari terakhir bulan Zulhijah 23 tahun setelah hijrah. Tetapi yang masih diperselisihkan mengenai umurnya ketika ia wafat: ada yang mengatakan dalam usia lima puluh tahun, ada yang menyebutkan dalam usia lima puluh tujuh tahun, yang lain mengatakan enam puluh tahun, ada lagi yang mengatakan enam puluh tiga tahun dan sebagainya. Besar dugaan ia meninggal sekitar umur enam puluhan. Kalau benar demikian berarti ketika ia hijrah umurnya belum mencapai empat puluh tahun. Dan kepastian dugaan ini tak dapat kita jadikan pegangan.
Ada juga yang mengatakan ketika Abu Bakar wafat dan Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah, dan pada waktu itu usia Umar sekitar 52 tahun, berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa Umar bin Khattab dilahirkan empat puluh tahun sebelum peristiwa hijrah ke Madinah.

B. Memeluk Islam
Ketika ajakan memeluk Islam dideklarasikan oleh Nabi Muhammad SAW, Umar mengambil posisi untuk membela agama tradisional kaum Quraish (menyembah berhala). Pada saat itu Umar adalah salah seorang yang sangat keras dalam melawan pesan Islam dan sering melakukan penyiksaan terhadap pemeluknya.
Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu'aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudari perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya.
Di rumah Umar menjumpai bahwa saudarinya sedang membaca ayat-ayat Al-Qur’an (surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudarinya. Ketika melihat saudarinya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al Qur'an tersebut dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga.

C. Pengangkatan Umar bin Khattab menjadi Khalifah
Setelah memerintah lebih kurang dua tahun, Khalifah Abu Bakar jatuh sakit. Saat itu timbul kecemasannya, apabila ia tidak menunjuk atau menentukan orang yang akan menggantikan jabatannya. Profil yang akan menggantikan hendaknya orang yang tegas, tetapi tidak kejam, orang yang ramah, tetapi tidak lemah. Menurut pandangan Abu Bakar, orang seperti itulah yang mampu memelihara persatuan ummat Islam dan membendung ancaman yang datang dari luar.
Menurut pandangan Abu Bakar, orang yang memiliki kriteria seperti itu ialah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Tetapi Abu Bakar cenderung memilih Umar bin Khattab. Alasannya, mungkin sekali, disamping pandangannya tersebut, Umar bin Khattab adalah seorang tokoh sahabat yang terdekat dengannya selama menduduki jabatan khalifah dan memiliki andil dalam pengangkatannya menjadi khalifah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib walaupun termasuk salah seorang tokoh sahabat yang disegani, tetapi kurang dekat dengannya bila dibandingkan dengan Umar bin Khattab, apalagi Ali bin Abi Thalib mengakui kekhalifahan Abu Bakar setelah enam bulan menduduki jabatan tersebut. Tetapi, Abu Bakar tidak bertindak otoriter. Ia memperhatikan saran-saran dan pendapat dari tokoh-tokoh sahabat yang lain, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Sebelum mengambil keputusan, Abu Bakar meminta pendapat Abdur Rahman bin ‘Auf, Usman bin Affan, Said bin Zaid dan lain-lainnya.
Dari hasil pengumpulan pendapat itu diketahui bahwa pada umumnya tokoh-tokoh sahabat menyetujui penunjukkan Umar bin Khattab sebagai calon pengganti Khalifah Abu Bakar. Oleh karena itu Abu Bakar secara resmi membuat surat pengangkatan Umar bin Khattab sebagai orang yang akan menduduki jabatan khalifah, apabila Abu Bakar wafat. Beberapa bulan setelah penunjukan tersebut, Abu Bakar wafat dan Umar bin Khattab langsung menjadi khalifah dan pada waktu itu usia Umar sekitar 52 tahun.

D. Sistem Pemerintahan Umar bin Khattab
Maka sistem yang ada pada masa Umar adalah sistem yang terkonsentrasi pada urusan khilafah, yaitu memberi tafsiran kepada kita tentang peristiwa-peristiwa pada masa Islam, bahkan pada masa dinasti Umawiyah.
Hanya saja sistem ini tidak diletakkan sekaligus melainkan secara berangsur, satu bagian datang pada suatu waktu kemudian diikuti bagian lain setelahnya. Dan peristiwa-peristiwa itulah yang memberi gagasan sistem tersebut, karena ialah yang merekamnya. Kejadian-kejadian itu berjalan dengan cepat meskipun saat itu belum ada dipuncak kepala negara Islam dua orang laki-laki yang mengecilkan lafal keagungan dihadapan urusan keduanya, serta membahayakan arus kejadian yang ditaruh sistem itu, maka didapatlah didalamnya penyakit dimana menimbulkan keributan dan tidaklah stabil.
Selama pemerintahan Umar, kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Sejarah mencatat banyak pertempuran besar yang menjadi awal penaklukan ini. Pada pertempuran Yarmuk, yang terjadi di dekat Damaskus pada tahun 636, 20 ribu pasukan Islam mengalahkan pasukan Romawi yang mencapai 70 ribu dan mengakhiri kekuasaan Romawi di Asia Kecil bagian selatan. Pasukan Islam lainnya dalam jumlah kecil mendapatkan kemenangan atas pasukan Persia dalam jumlah yang lebih besar pada pertempuran Qadisiyyah (th 636), di dekat sungai Eufrat. Pada pertempuran itu, jenderal pasukan Islam yakni Sa`ad bin Abi Waqqas mengalahkan pasukan Sassanid dan berhasil membunuh jenderal Persia yang terkenal, Rustam Farrukhzad.
Pada tahun 637, setelah pengepungan yang lama terhadap Yerusalem, pasukan Islam akhirnya mengambil alih kota tersebut. Umar diberikan kunci untuk memasuki kota oleh pendeta Sophronius dan diundang untuk shalat di dalam gereja (Church of the Holy Sepulchre). Umar memilih untuk shalat ditempat lain agar tidak membahayakan gereja tersebut. 55 tahun kemudian, Masjid Umar didirikan ditempat ia shalat.
Umar melakukan banyak reformasi secara administratif dan mengontrol dari dekat kebijakan publik, termasuk membangun sistem administratif untuk daerah yang baru ditaklukkan. Ia juga memerintahkan diselenggarakannya sensus di seluruh wilayah kekuasaan Islam. Tahun 638, ia memerintahkan untuk memperluas dan merenovasi Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Medinah. Ia juga memulai proses kodifikasi hukum Islam.
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu, ia tetap hidup sebagaimana saat para pemeluk Islam masih miskin dan dianiaya.
Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun ke-empat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Sehingga pada zaman pemerintahan Umar sampai tahun 641 M, wilayah kekuasaan Islam telah meliputi Jazirah Arab, Syria, Palestina, Irak, Mesir, dan sebagian wilayah Persi. Jazirah Arab yang berbangsa dan berbahasa Arab beragama Islam, Syria yang berbahasa Syryani beragama Nasrani, Palestina yang berbangsa Ibrani beragama Yahudi, Mesir yang berbangsa Qibti beragama Mesir Kuno dan Nasrani, serta Irak dan sebagian wilayah Persi yang beragama Majusi, disatukan di bawah kekuasaan Islam dengan ibukotanya Madinah. Terjadilah asimilasi antar lima wilayah, lima bangsa, lima negara. Asimilasi dalam hidang darah, bahasa, adat istiadat, alam pemikiran, politik, paham keagamaan, dan bidang-bidang lain. Bangsa Arab mempunyai keunggulan bidang agama dan bahasa, bangsa-bangsa lain memiliki keunggulan masing-masing. Terjadi saling pengaruh-mempengaruhi, namun yang jelas peradaban Islam tidak lokal Arab lagi, telah meliputi wilayah regional Timur Tengah. Dalam pengaruh-mempengaruhi ini ada positif dan ada negatifnya. Dalam bidang darah, karena terjadi perkawinan campuran akan lahir generasi campuran Arab ‘Ajam, demikian juga dalam adat istiadat ada Arab Badwi ada Arab yang berbudaya kota. Untuk menghadapi masalah baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah dan masa Abu Bakar, maka Umar berijtihad untuk:
a. Menetapkan hukum tentang masalah-masalah yang baru.
b. Memperbaharui organisasi negara.
c. Mengembangkan ilmu.

E. Wafatnya Umar bin Khattab
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Saad ibn Abi Waqqas, dan Abdurrahman ibn ‘Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.


BAB III
PENUTUP
Islam sebagai agama rahmat bagi manusia di segala tempat dan masa perlu benar-benar diwujudkan dalam segala aspek kehidupan. Ini akan terjadi kalau para pemimpin dan intelektual muslim mampu membuat Islam dapat melayani dengan benar tuntutan perubahan sosial yang selalu berkembang. Reaktualisasi ajaran Islam melalui ijtihad adalah suatu yang senantiasa dinantikan dan pemahaman terhadap ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh sangat membantu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial secara tepat dan benar.
Khalifah Umar bin Khattab sering tampil dan ditampilkan, karena keberaniannya dalam berijtihad dan banyak pendapatnya yang kelihatannya bertentangan dengan nash dan terobosannya terjadi karena ia telah membaca dan menyelami lebih dalam isi nash dan memahami lebih dalam hakekat Islam itu diturunkan. Membicarakan Umar bin Khattab dengan keberanian dan terobosan-terobosan pemikirannya diharapkan bukan sekedar untuk bernostalgia, tetapi untuk dapat dijadikan ibrah dalam upaya mengaca diri bagi pemimpin dan intelektual muslim di abad modern dewasa ini.


DAFTAR PUSTAKA


Sunanto, Musyrifah Hj., SEJARAH ISLAM KLASIK. Bogor: Kencana, 2003.
Yatim, Badri Dr.M.A. SEJARAH PERADABAN ISLAM. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Umar bin Khattab. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Umar_bin_Khattab pada tanggal 10 April 2010.
Al-’Isy, Yusuf Sejarah Dinasti Umawiyah, terj. Iman Nurhidayat & Muhammad Khalil. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Sholikhin, M. Drs. H. M.Ag.. SEJARAH PERADABAN ISLAM. Semarang: RaSAIL, 2005.
Nu’mani, Syibli Al-Faruq; Life of Umar, The Great Second Caliph of Islam, Terj. Karsidjo Djojo Soewarno. Pustaka,: Bandung, 1981.
Haekal, Muhammad Husain Al-Faruq ‘Umar, Umar Bin Khattab, Terj. Ali Audah. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2002
Chalil, Moenawar K.H. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw. I . Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 2001.

Sabtu, 13 Maret 2010

Makalah Inovasi Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolahsepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang.
Dalam kondisi zaman sekarang, yaitu zaman era globalisasi, ilmu pengetahuan makin lama makin maju. Tidak mungkin dalam menuntut suatu ilmu pengetahuan, sementara kualitas pendidikan masih dalam keadaan stabil bahkan menurun. Gerak waktu yang dirasakan masyarakat makin cepat, membuat dunia seakan menjadi sempit dan kecil. Begitu pula tidak seimbangnya antara laju pertambahan penduduk di suatu negara dengan pemerolehan pendidikan yang layak di suatu lembaga pendidikan, contohnya sekolah. Ditambah bagaimana seorang rakyat yang tidak mampu memerlukan dana untuk mendapatkan pendidikan yang layak guna menyeimbangkan dengan zaman era globalisasi agar tidak berakibat fatal dan ketinggalan. Bagaimana mungkin seseorang ingin menggapai cita-cita yang tinggi di masa depan sementara pendidikan yang ia peroleh di masa lalu tidak sesuai dengan yang dipersiapkan. Oleh karena itu, dalam menghadapi dunia global, perubahan memang perlu untuk dilakukan. Inilah yang melatarbelakangi bagi kami untuk menyusun sebuah makalah mengenai masalah inovasi pendidikan atau yang dikenal dengan pembaruan pendidikan.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka kami akan merumuskan masalahnya sebagai berikut:
a. Apa definisi dari inovasi pendidikan ?
b. Apakah masalah-masalah yang menuntut diadakannya inovasi pendidikan ?
c. Apakah tujuan inovasi pendidikan ?
d. Seperti apakah upaya-upaya yang telah dilakukan untuk melaksanakan inovasi pendidikan ?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Inovasi Pendidikan
Inovasi atau innovation berasal dari kata to innovate yang mempunyai arti membuat perubahan atau memperkenalkan sesuatu yang baru. Inovasi kadang pula diartikan sebagai penemuan, namun berbeda maknanya dengan penemuan dalam arti discovery atau invention (invensi). Discovery mempunyai makna penemuan sesuatu yang sebenarnya sesuatu itu telah ada sebelumnya, tetapi belum diketahui. Sedangkan invensi adalah penemuan yang benar-benar baru sebagai hasil kegiatan manusia.
Dengan demikian, terdapat 3 hal yang dapat mewujudkan perubahan yaitu:
 Inovasi memperkenalkan hal yang baru.
 Discovery penemuan sesuatu yang sebenarnya telah ada sebelumnya.
 Invention menciptakan sesuatu yang baru yang tidak pernah ada sebelumnya.
ketiga hal tersebut dapat melengkapi makna dari inovasi, karena inovasi dapat diartikan pula sebagai penemuan yang mana dalam inovasi tercakup discovery dan invensi.
Inovasi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapat diartikan pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru. Arti yang kedua, penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode atau alat).
Inovasi dapat dilakukan diberbagai bidang, ekonomi, politik, teknologi, pendidikan, dan masih banyak lagi. Inovasi dilakukan bukan semata-mata untuk trend atau iseng, namun inovasi dilakaukan pastilah memiliki tujuan, dan tujuan tersebut ialah untuk tercapainya suatu perubahan mengarah kepada yang lebih baik.
Sedangkan maksud pengertian inovasi pendidikan di sini ialah suatu perubahan yang baru dan bersifat kualitatif berbeda dari hal yang ada sebelumnya serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan dalam rangka pencapaian tujuan tertentu dalam pendidikan. (189) Dengan kata lain, suatu perubahan yang baru yang menuju ke arah perbaikan atau berbeda dari yang ada sebelumnya.
Ada beberapa pendapat mengenai inovasi pendidikan :
1. Ibrahim (1988) mengemukakan bahwa inovasi pendidikan adalah inovasi dalam bidang pendidikan atau inovasi untuk memecahkan masalah pendidikan. Jadi, inovasi pendidikan adalah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati berbagai hal yang baru bagi hasil seseorang atau kelompok orang (masyarakat), baik berupa hasil inverse (penemuan baru) atau discovery (baru ditemukan orang), yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau untuk memecahkan masalah pendidikan.
2. Demikian pula Ansyar, Nurtain (1991) mengemukakan adalah gagasan, perbuatan atau sesuatu yang baru dalam konteks sosial tertentu untuk menjawab masalah yang dihadapi.

B. Masalah-masalah yang Menuntut Diadakan Inovasi
Adapun masalah-masalah yang menuntut diadakan inovasi pendidikan di Indonesia, yaitu :
a. Perkembangan ilmu pengetahuan menghasilkan kemajuan teknologi yang mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan bangsa Indonesia.
Sistem pendidikan yang dimiliki dan dilaksanakan di Indonesia belum mampu mengikuti dan mengendalikan kemajuan-kemajuan tersebut sehingga dunia pendidikan belum dapat menghasilkan tenaga-tenaga pembangunan yang terampil, kreatif, dan aktif sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat.
b. Laju eksplosi penduduk yang cukup pesat, yang menyebabkan daya tampung, ruang dan fasilitas pendidikan yang sangat tidak seimbang.
c. Melonjaknya aspirasi (harapan dan tujuan untuk keberhasilan pada masa yang akan datang) dan animo (hasrat dan keinginan yang kuat) masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik, sedangkan di satu sisi kesempatan itu sangat terbatas sehingga terjadilah kompetensi atau persaingan yang sangat ketat. Berkenaan dengan ini pula sekarang bermunculanlah sekolah-sekolah favorit, plus, bahkan unggulan.
d. Mutu pendidikan yang dirasakan makin menurun, yang belum mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
e. Kurang adanya relevansi antara pendidikan dan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun.
f. Belum mekarnya alat organisasi yang efektif, serta belum tumbuhnya suasana yang subur dalam masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan yang dituntut oleh keadaan sekarang dan yang akan datang.

C. Tujuan Inovasi Pendidikan
Tujuan inovasi pendidikan adalah meningkatkan efisiensi, relevansi, kualitas dan efektivitas : sarana serta jumlah peserta didik sebanyak-banyaknya, dengan hasil pendidikan sebesar-besarnya (menurut kriteria kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan pembangunan), dengan menggunakan sumber, tenaga, uang, alat dan waktu dalam jumlah yang sekecil-kecilnya.
Kalau dikaji, arah tujuan inovasi pendidikan Indonesia tahap demi tahap, yaitu :
a. Mengejar ketinggaian-ketinggalan yang dihasilkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu dan teknologi sehingga makin lama pendidikan di Indonesia makin berjalan sejajar dengan kemajuan-kemajuan tersebut.
b. Mengusahakan terselenggarakannya pendidikan sekolah maupun luar sekolah bagi setiap warga negara. Misalnya meningkatkan daya tampung usia sekolah SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi.
Di samping itu,. akan diusahakan peningkatan mutu yang dirasakan makin menurun dewasa ini. Dengan sistem penyampaian yang baru, diharapkan peserta didik menjadi manusia yang aktif, kreatif, dan terampil memecahkan masalahnya sendiri.
Tujuan jangka panjang yang hendak dicapai ialah terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya.

D. Contoh Pelaksanaan Inovasi Pendidikan
Pemerintah telah melakukan berbagai terobosan untuk meningkatkan mutu pendidikan di semua jenjang dan jenis pendidikan. Komitmen pemerintah tersebut tentunya penting didukung. Hanya perlu diingat, untuk memajukan mutu pendidikan tidak cukup diandalkan dengan alokasi dana yang besar saja. Kalau tidak dibarengi dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang benar, maka jelas akan tidak efektif dan efisien.
Ada banyak beberapa contoh bagaimana pelaksanaan inovasi pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah Sistem PAMONG. Perkataan PAMONG sendiri adalah singkatan dari Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang Tua dan Guru dan telah dipergunakan sejak kegiatan pencarian alternative atau pelengkap bagi pendidikan dasar pada umumnya, proyek ini berawal dari proyek kerjasama antara BP3K Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan SEAMEO Regional “Innotech Centre” (Innovation and Educational Technology) pada tahun 1974-1979. Lokasi proyek ini terletak di Solo, Jawa Tengah. Pada dasarnya system ini mengetengahkan peranan baru bagi guru dari pengajaran di muka kelas menjadi pengelola kegiatan belajar. Sebagai pengelola ia harus dapat meningkatkan kemampuannya,sehingga tidak lagi terbatas pada jumlah 40 orang murid yang di hadapi seperti lazimnya, tetapi diharapkan mampu mengelola antara 80-100 orang. Murid-murid belajar sendiri dengan menggunakan modul yaitu suatu satuan pengajaran yang tercetak, dimana pelajaran telah tersusun dan terprogram sedemikian rupa meliputi tujuan pengajaran, informasi bahan, latihan dan riset, serta kegiatan praktikum, tes, serta ujian. Sehingga modul itu “ dapat mengajar sendiri” Dengan demikian guru dapat mengalihkan kegiatan mengajar menjadi supervise dan memberikan konsultasi kepada murid-murid.
Salah satu prinsip system SD PAMONG adalah bahwa belajar dapat berlangsung diberbagai tempat, artinya system SD PAMONG berusaha untuk mengubah pandangan bahwa belajar hanya dapat terjadi di dalam gedung sekolah dan bahwa jika anak putus sekolah juga berarti putus belajar. Dengan demikian system SD PAMONG di samping merupakan usaha serta kegiatan lain untuk meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, juga berusaha menciptakan wadah dan kesempatan bagi anak yang karena satu dan lain hal; terpaksa tidak dapat belajar di sekolah biasa.

Contoh pelaksanaan inovasi pendidikan lainnya adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Tujuan proyek KKN adalah melengkapi para mahasiswa dengan pengalaman praktis tentang kebutuhan dan masalah pembangunan masyarakat pedesaan, serta penyediaan tenaga kerja terdidik untuk pembangunan di 58.000 desa yang tersebar di seluruh Indonesia. Rencana tersebut dimulai tahun 1971 atau 1972 oleh 3 universitas yang merintis melaksanakan proyek tersebut. Menurut rencana tahun 1975 atau 1976 sebanyak 28 Lembaga Pendidikan Tinggi sudah bergiat dengan KKN dan selanjutnya seluruh mahasiswa di tingkat terakhir kurang lebih sebanyak 23.000 orang setahunnya akan terlibat kegiatan KKN. Jelas bahwa KKN akan menyediakan tenaga-tenaga akademik yang terampil, berpengalaman langsung secara praktis tentang kebutuhan dan masalah pembangunan masyarakat pedesaan dan bukan sekedar berpengetahuan teori dari bangku kuliah saja.
Selain pelaksanaan inovasi pendidikan melalui dua hal tersebut, juga terdapat pelaksanaannya melalui SMP Terbuka, Radio pendidikan, Televisi Pendidikan dan lain-lain.

BAB III
PENUTUP
A. Analisa
Dari materi di atas, dapat dianalisa bahwasanya masyarakat Indonesia memerlukan perubahan terutama dalam bidang pendidikan. Yang mana tanggung jawab pendidikan tidak terlepas dari peran pemerintah, masyarakat dan orangtua. Dalam menghadapi dunia global ini, kita sebagai warga negara yang baik, siapapun dan apapun profesi kita dengan bidang dan keahlian masing-masing, harus berperan aktif secara bertahap dan terencana meningkatkan kualitas pendidikan dalam kerangka mewujudkan SDM yang berkualitas. Pemerintah pun telah melakukan berbagai terobosan untuk meningkatkan mutu pendidikan di semua jenjang dan jenis pendidikan. Kita berharap kiranya alokasi dana yang cukup signifikan akan menghasilkan pendidikan berkualitas, dan tentunya untuk sampai kepada pendidikan bermutu memerlukan perencanaan yang matang. Mustahil akan tercapai kalau tahun ini kita programkan dan tahun depan dapat hasilnya. Sebab persoalan pendidikan bukan perkara mudah, merekayasa pendidikan perlu waktu dan pemikiran bersama, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu, keberhasilan dan peningkatan mutu pendidikan menjadi tujuan dan cita-cita kita bersama. Masing-masing kita ambil peran dan bertanggung jawab sesuai dengan tugas dan fungsi kita masing-masing. Kita harus bersatu padu, saling menunjang dan tentunyaakan memberikan sumbang saran agar cita-cita ini berhasil.

B. Kesimpulan
Pengertian inovasi pendidikan ialah suatu perubahan yang baru dan bersifat kualitatif berbeda dari hal yang ada sebelumnya serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan dalam rangka pencapaian tujuan tertentu dalam pendidikan. Masalah-masalah yang menuntut diadakannya inovasi pendidikan adalah Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, lajunya pertambahan penduduk, meningkatnya animo masarakat untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik, menurunnya kualitas pendidikan, serta belum mekarnya alat organisasi yang efektif. Tujuan inovasi pendidikan adalah meningkatkan efisiensi, relevansi, kualitas dan efektivitas : sarana serta jumlah peserta didik sebanyak-banyaknya, dengan hasil pendidikan sebesar-besarnya (menurut kriteria kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan pembangunan), dengan menggunakan sumber, tenaga, uang, alat dan waktu dalam jumlah yang sekecil-kecilnya. Pelaksanaan inovasi di Indonesia banyak sekali diantaranya sistem Pamong, Kuliah Kerja Nyata, SMP terbuka, Radio Pendidikan, Televisi Pendidikan dan lain-lain.
C. Saran
Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang Inovasi Pendidikan. Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA


Guruw. Diakses dari http://guruw.wordpress.com/2008/12/20/inovasi-pendidikan/ pada tanggal 6 november 2009.
Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Ihsan, Fuad Drs. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2003.
Inovasi Pendidikan. Diakses dari http://inovasipendidikan.wordpress.com/2007/12/04/landasan-teori-inovasi-pendidikan/ pada tanggal 5 november 2009.
Isjoni, Drs.H. Saatnya Pendidikan Kita Bangkit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Mudyaharjo, Redja. PENGANTAR PENDIDIKAN: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Jumat, 12 Maret 2010

MAKALAH TAFSIR, TA'WIL DAN TERJEMAH

MAKALAH TAFSIR, TA'WIL DAN TERJEMAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Al Qur`an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Setidaknya itulah yang diindikasikan oleh surat al Baqarah ayat 185. Di samping itu, dalam ayat dan surat yang sama, diinformasikan juga bahwa al Qur`an sekaligus menjadi penjelasan (bayyinaat) dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu menjadi pembeda (furqaan)-antara yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari al Qur`an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap petunjuk al Qur`an tersebut.
Al Qur`an adalah kalaamullaah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dengan media malaikat Jibril as. Dalam fungsinya sebagai petunjuk, al Qur`an dijaga keasliannya oleh Allah swt. Salah satu hikmah dari penjagaan keaslian dan kesucian al Qur`an tersebut adalah agar manusia mampu menjalani kehidupan di dunia ini dengan benar-menurut Sang Pencipta Allah ‘azza wa jalla sehingga kemudian selamat, baik di sini, di dunia ini dan di sana , di akhirat sana . Bagaimana mungkin manusia dapat menjelajahi sebuah hutan belantara dengan selamat dan tanpa tersesat apabila peta yang diberikan tidak digunakan, didustakan, ataupun menggunakan peta yang jelas-jelas salah atau berasal dari pihak yang tidak dapat dipercaya? Oleh karena itu, keaslian dan kebenaran al Qur`an terdeterminasi dengan pertimbangan di atas agar manusia tidak tersesat dalam mengarungi kehidupannya ini dan selamat dunia-akhirat.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafald dan ungkapan Al Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikian gemilang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global, sedangkan kalangan cendekiawan dan terpelajar akan dapat mengumpulkan pula dari pandangan makna-makna yang menarik. Dan diantara cendikiawan kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman maka tidaklah mengherangkan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata garib (aneh-ganjil) atau mentakwil tarkib (susunan kalimat) dan menterjemahkannya kedalam bahasa yang mudah dipahami.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka kami akan menjelaskan tentang definisi tafsir ta’wil dan terjemah
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
a. Apa definisi dari tafsir, ta’wil dan terjemah?
b. Bagaimana pendapat sebagian ulama tentang tafsir dan ta’wil ?
c. Apakah penting bagi kita untuk mempelajari Tafsir, ta’wil dan terjemah ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembahasan yang berjudul tentang tafsir ta’wil dan terjemah yaitu:
1. Untuk mengetahui tentang definisi tafsir ta’wil dan terjemah.
2. Untuk mengetahui pendapat ulama’ tentang hal ini untuk memberi penjelasan tentang pentingnya pemahaman tafsir, ta’wil dan terjemah.
.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu:
Bab I pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisannya.
Bab II pembahasan, yang terdiri dari Penjelasan tafsir, ta’wil dan terjemah.
Bab III penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran


BAB II
PEMBAHASAN

A. Tafsir
1.1 Pengertian Tafsir
Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil. Pengertian tafsir dengan makna di atas, sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Furqan :
       • 
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (sesuatu) yang ganjil melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (QS. 25 : 33)
Maksudnya ialah: penjelasan yang lengkap dan terperinci sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abas.
Menurut Abu Hayyan, tafsir, secara terminologis merupakan ilmu yang membahas tentang metode mengucapkan lafazh-lafazh al Qur`an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun dari hal-hal yang melengkapinya.
Kata As Zarkasyy dalam Al Burhan “Tafsir itu, ialah menerangkan makna-makna Al Qur-an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”
1.2 Kedudukan Tafsir
Tafsir ialah dari ilmu-ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi. Ia adalah ilmu yang paling mulia, sebagai judul, tujuan, dan kebutuhan, karena judul pembicaraan ialah kalaam atau wahyu Allah SWT yang jadi sumber segala hikmah dan sumber segala keutamaan. Selanjutnya, bahwa jadi tujuannya ialah berpegang pada tali Allah yang kuat dan menyampaikan kepada kebahagiaan yang hakikat atau sebenamya. Sesungguhnya makin terasa kebutuhan padanya ialah, karena setiap kesempurnaan agama dan dunia, haruslah sesuai dengan ketentuan syara’. Ia sesuai bila ia sesuai dengan ilmu yang terdapat dalam Kitab Allah SWT.
1.3 Pembagian Tafsir
Secara umum para ulama telah membagi tafsir menjadi dua bagian yaitu: Tafsir bi al-riwayah, atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, dan tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y.
1. Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in.
Semua ayat-ayat al Qur`an telah dijelaskan oleh nabi Muhammad saw., sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al Qur`an setelah al Qur`an itu sendiri, kepada para sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad saw. yang dapat menafsirkan sebuah ayat al Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah saw.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bil ma’tsur menempuh tiga periode, yaitu:
1. Periode I, yaitu masa Nabi, Sahabat, dan permulaan masa tabi’in ketika belum tertulis dan secara umum periwayatannya masih secara lisan (musyafahah).
2. Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abd Al-Aziz (95-101). Tafsir bil Ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadits.
3. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab Tafsir bil Ma’tsur yang secara khusus dan berdiri sendiri.

Tafsir bil ma’tsur inilah yang wajib diikuti, diambil dan dipegangi, karena tafsir inilah jalan ma’rifah yang sahih dan metode yang dikenal. Inilah tafsir yang tidak mungkin menyelewengkan dalam kitabullah.
Beberapa kitab tafsir bil ma`tsuur yang terkenal diantaranya tafsir Ibnu Abbas dengan judul Tanwiirul Miqbas min Tafsiiri Ibn Abbas, tafsir at Thabari dengan judul Jamii’ul Bayaan fii Tafsiiril Qur`an, tafsir Ibnu ‘Atiyyah dengan judul Muharrarul Wajiiz fi Tafsiiril Kitaabil ‘Aziz, dan tafsir Ibnu Katsir dengan judul Tafsiirul Qur`aanul ‘Azhiim.
2. tafsir bi al-dirayah atau disebut juga dengan tafsir bi al-ra’y
Cara penafsiran bil ma’qul atau lebih populer lagi bir ra`yi menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.
Husayn al Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran al Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka serta pengetahuannya tentang lafal bahas Arab dan makna yang ditunjukkannya dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya. Meskipun demikian, lanjut al Dhahaby, asbaabun nuzuul, naasikh wa mansuukh, dan alat bantu lainnya merupakan pengetahuan-pengetahuan yang tetap harus dikuasai dan digunakan dalam penafsiran ini.
Ulama’ berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi Al - Ro’yi. Sebagian ulama’ melarang penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode ini, sebagian yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas pada lafadz bukan hakikatnya. Dan golongan pertama tidak sampai melewati batas-batas ketentuan penafsiran. Sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa tiap-tiap golongan telah melewati batas, dengan alasan bahwa meniadakan ma’na dalam lafadz yang manqul adalah suatu hal yang berlebihan dan membahas penafsiran bagi semua orang adalah suatu perbuatan yang tercela. Akan tetapi kalau kita kaji lebih dalam perbedaan-perbedaan mereka kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa semuanya sepakat tidak di perbolehkannya menafsiri Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pendapat pribadi.
Menurut Manna’ Khalil Qaththan menafsirkan al qur`an dengan akal dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Menurutnya, cara penafsiran seperti ini dilakukan oleh mayoritas ahli bid’ah dan madzhab batil dalam rangka melegitimasi golongannya dengan memelintir ayat-ayat al Qur`an agar sesuai dengan kehendak hawa nafsunya.
Corak Tafsir dengan ra’yi (pikiran) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzum / mardud).
Ialah bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah tokoh-tokoh bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir Jabba’i, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan Ashmi.
2. Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah / maqbul)
a) Ialah bila tidak bertentangan dengan tafsir maktsuur
b) Ia berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia.
Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi dalam menanggapi permasalahan ini beliau berkata: Tafsir bi Al-Ro’yi ada dua:
1. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti Al-Kitab dan sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.
2. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syari’at serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”.
Kitab-kitab tafsir bir ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul Ghaib, tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az Zamakhsyari yang berjudul Al Kasysyaf ‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwiil.

B. Ta’wil
2.1 Pengertian Ta’wil
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal. Adapun mengenai arti takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu. Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya.
Kata sebahagian ulama : “Ta‘wil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya, yakni menerangkan apa yang dimaksud daripadanya.”
Sebahagian yang lain berkata : “Ta‘wil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafadh.”
2.2 Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Para mufassirin telah berselisihan pendapat dalam memberikan makna Tafsir dan Ta’wil.
Kata Ar Raghib Al Asfahany : “Tafsir lebih umum dari ta’ wil. Dia lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang ta’wil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat.”
Kata Abu Thalib Ats Tsa’laby : “Tafsir ialah, menerangkan makna lafadh, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna Ash Shirath dengan jalan dan Ash Shaiyib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan bathin lafadh. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil menerangkan hakikat yang dikehendaki.
Umpamanya firman Allah s.w.t.:
•   
“Bahwasanya Tuhanmu itu sungguh selalu memperhatikan kamu.”
(Q.A. 14. S. 89 . AlFajr).
Tafsirnya ialah, bahwasanya Allah senantiasa dalam mengintai-intai memperhatikan keadaan hamba-Nya. Adapun ta’wilnya, ialah menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempersiapkan persiapan yang perlu.
Kata segolongan pula : “Tafsir berpaut dengan Riwayat. sedang ta’wil berpaut dengan Dirayat. Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan dari Sahabat, sedang ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-undang bahasa ‘Arab.
Umpamanya firman Allah:
   
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.” (Q.A. 95.S. 6: Al An’am).
Maka jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung dari telur, dinamailah ia tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki, mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir, dinamailah ta’wil.


Perbedaan antara keduanya dapat dipaparkan di bawah ini.
TAFSIR
Pemakaiannya banyak dalam lafazh-lafazh dan mufradat
Jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih
Banyak berhubungan dengan riwayat
Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas)
Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki.
TAKWIL
Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
Kebanyakan diistinbath oleh para ulama
Banyak berhubungan dengan dirayat
Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas)
Menerangkan hakikat yang dikehendaki

C. Terjemah
3.1 Pengertian Terjemah
Secara lafazh tarjamah dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam kitab Lisa al-’Arab:
Yang dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau tarjuman (dengan fathah) adalah yang menterjemahkan kalam (pembicaraan), yaitu memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Sedangkan pengertian tarjamah secara terminologis, sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad ‘Abd al-’Azhim al Zarqani sebagai berikut:
Tarjamah ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa pertama), lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya.
Kata “terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1). Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2). Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap dipertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya.
3.2 Syarat-syarat terjemah
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
1. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya;
2. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut;
3. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama;
4. Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.
Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih luas dari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, dan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yang bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.
B. Saran
Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang tafsir, ta’wil dan terjemah. Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA


Al Qaththan, Manna’ Khalil. 2006. Studi Ilmu-Ilmu al Qur`an (terjemahan Mabaahits fii ‘Uluumil Qur`an). Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa.
Ichwan, Mohammad Nor. 2005. Belajar Al-Qur’an Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis. Semarang: RaSAIL.
Masyhur, Kahar Drs. H..1992. POKOK-POKOK ULUMUL QURAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Abidin S.,Zainal. 1992. SELUK BELUK AL-QURAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi Prof. Dr. 1987. SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU AL QUR-AN/TAFSIR. Jakarta: PT Bulan Bintang
http://haidarchace.wordpress.com/2009/01/08/tafsir-al-quran/
http://qistoos.multiply.com/journal/item/14
http://renizz.blogspot.com/2009/04/1.html
http://wildaznov11.blogspot.com/2009/01/pengertian-tafsir-tawil-dan-terjemah.html

MAKALAH MUKJIZAT ALQUR'AN

MAKALAH MUKJIZAT ALQUR'AN BY PAK SYAMSUDDIN DAN PAK MULYADI (REKAN SEKELAS DAN SEKAMPUS)


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Al-qur’an adalah suatu mu’jizat yang terbesar dan kekal abadi. Mu’jizat yang pernah diberikan Alloh Swt kepada Rasul-rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad Saw sudah berlalu dan tak dapat dilihat lagi. Mu’jizat-mu’jizat itu ada dan sudah pernah terjadi, tetapi kita tidak bisa merasakan, menghayati dan mengalaminya.
Lain halnya dengan Al-qur’an, ia adalah suatu mu’jizat yang besar dan kekal abadi. Umat Islam dan umat lainnya dapat memegang, membaca, menghayati, memahami, mengamalkan isinya untuk mencapai kebahagiaan dunia dan keselamatan di akhirat nanti.
Al-qur’an mempunyai kedudukan yang sungguh mulia, dan mendapatkan tempat yang agung di hati sanubari kaum muslimin, karena kejadian-kejadian yang beruntun dengan turunnya kitab suci tersebut membuat bersanding pada kedudukan yang paling mulia dan teratas, dibanding dengan kitab-kitab samawi lain.
Al-qur’an mencakup seluruh wahyu yang disampaikan kepada para Nabi dan Rasul yang terdahulu, baik berupa petunjuk, perbaikan, pendidikan, pengajaran keseluruhan budi pekerti dan undang-undangnya.
Al-qur’an adalah mu’jizat paling besar dari segala mu’jizat yang pernah diberikan Alloh Swt, kepada seluruh Nabi dan Rasul-Nya. Al-qur’an bukan saja untuk mematahkan segala bantahan kaum musyrikin terhadap kebenaran wahyu yang dibawa Rasulullah Saw, tetapi ia juga ditunjukkan kepada seluruh umat manusia.
Untuk lebih jelasnya mengenai mu’jizat Al-qur’an ini, akan kami diuraikan pada Bab II pada makalah ini.



B. Batasan Masalah

Mengingat luasnya materi yang berkenaan dengan Mu’jizat Al-qur’an, maka pada makalah ini kami hanya membahas sekitar :
a. Pengertian Mu’jizat Al-qur’an
b. Macam-Macam Mu’jizat.
c. Beberapa Segi Kemu’jizatan Al-qur’an
d. Mu’jizat Al-qur’an ditinjau dari Segi Gaya Bahasa dan Isinya.


C. Rumusan Masalah

Dari Latar belakang dan batasan masalah di atas, kami merumuskan masalah yaitu ” Bagaimana Pengertian, Macam-macamnya, bahasa dan isi daripada Al-qur’an, sehingga menjadi mu’jizat terbesar dan kekal bagi Nabi Muhammad Saw”



D. Tujuan Penulisan

Adapun Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui secara lebih rinci bagaimana sebenarnya Mu’jizat Al-qur’an itu, sehingga menambah perbendaharaan ilmu bagi kami, khusunya pada mata kuliah Ulumul Qur’an.





BAB II
MU’JIZAT AL- QUR’AN
A. Pengertian Mu’jizat
Mu’jizat secara etimologis ( bahasa ) berarti Melemahkan. Sementara menurut Terminology ( istilah ) , mu’jizat ialah sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Alloh Saw melalui pada Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulan. Kata Mu’jizat sendiri tidak terdapat dalam Al-qur’an . Namun untuk menerangkan mu’jizat, Al-Qur’an menggunakan istilah ayat atau bayyinat. Baik ayat atau bayyinat mempunyai dua macam arti. Yang pertama artinya pengkabaran Ilahi, yang berupa ayat-ayat suci Al-qur’an. Sedangkan yang kedua artinya mencakup mu’jizat atau tanda bukti.
Umumnya mu’jizat para nabi dan Rasul itu berkaitan dengan masalah yang dianggap mempunyai nilai tinggi dan diakui sebagai suatu keunggulan oleh masing-masing umatnya pada masa itu.
Misalnya, tongkat yang diberikan kepada Nabi Musa As, yang dapat menelan semua ular yang didatangkan tukang-tukang sihir Fir’aun dan dapat membelah laut, sehingga Nabi Musa As dan kaumnya dapat menyelamatkan diri dari kejaran tentara Fir’aun dengan menyeberangi laut yang telah terbagi dua dan akhirnya Fir’aun bersama tentaranya tenggelam di lautan, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surah Asy Syu’araa ayat 45 dan ayat 63,64,65 dan 66.Yang berbunyi :
فالقى موسى عصاه فاذا هى تلقف ما يأ فكون. فا و حينآ الى مو سى ان اضرب بعصاك البحر فانفلق فكان كل فرق كالطودالعظيم. ولز لفنا ثم الا خرين. وانجينا موسى ومن معه احمعين. ثم اغرقنا الاخرين.
Artinya : “Kemudian Musa menjatuhkan tongkatnya, maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu.”
Lalu Kami wahyukan kepada Musa : “pukullah laut dengan tongkatmu,”maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan disanalah Kami dekatkan golongan yang lain. Dan kami selamatkan Musa beserta orang-orang yang bersama dengan dia semuanya. Kemudian Kami tenggelamkan golongan-golongan yang lain itu”.

Kemudian Mu’jizat yang dapat menghidupkan orang mati dan sebagainya yang diberikan kepada Nabi Isa As, sebagaimana disebutkan dalam Al-qur”an Surah
Ali Imran ayat 49, yang berbunyi :
ورسو لا الى بني ا سرا ء يل اني قدجئتكم باية من ربكم,اني اخلق لكم من ا لطين كهيئة الطير فانفخ فيه فيكون طيرا باذنالله, وابرىالاكمه والابر ص واحى الموتى باذنالله, وانبئكم بما تأ كلون وماتدخرون في بيو تكم , ان في ذلك لاية لكم ان كنتم مؤ منين.


Artinya : “Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda ( mu’jizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah sebagai bentuk burung, kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizing Alloh, dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak, dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Alloh, dan aku kabarkan apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan dirumahmu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman”.

Demikian pula kepada Nabi Besar Muhammad SAW telah diberikan beberapa mu’jizat diantaranya Israa’ dan Mi’raj dalam waktu satu malam sebagaimana tersebut dalam Qur’an Surah Al Israa’ ayat 1 dan keluarnya air dari ujung jarinya ketika ketiadaan air. Mu’jizat yang terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw adalah Al-qur’an, suatu mu’jizat yang dapat disaksikan oleh seluruh umat manusia sepanjang masa, karena memang beliau diutus oleh Alloh Saw untuk keselamatan manusia di mana dan di masa apapun mereka berada. Oleh karena itu Alloh Saw menjamin keselamatan Al-qur’an sepanjang masa.
Sebagaimana Surah Al Hijr ayat 9, yang berbunyi :
انا نحن نز لنا ا لذكر وانا له احفظو ن
ِِArtinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-qur’an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya”.


Mu’jizat Nabi Muhammad Saw memiliki kekhususan dibandingkan dengan mu’jizat Nabi-Nabi lainnya. Semua mu’jizat sebelumnya dibatasi oleh ruang dan waktu, artinya hanya diperlihatkan kepada umat tertentu dan masa tertentu. Sedangkan mu’jizat Al-qur’an bersifat universal dan eternal (abadi) , yakni berlaku untuk semua umat manusia sampai akhir zaman.

Di dalam memberikan definisi kepada Al-qur’an sengaja dicantumkan kata “yang mempunyai mu’jizat” karena inilah segi keutamaan Al-qur’an dan bedanya dari kitab-kitab lain yang diturunkan kepada Nabi-Nabi. Mu’jizat itu terletak pada Fashahah dan Balaghahnya. Keindahan susunan dan gaya bahasanya serta isinya tidak ada tara bandingannya. Mustahil manusia dapat membuat susunan yang serupa dengan Al-qur’an yang dapat menandinginya. Di dalam Al-qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang menantang setiap orang dan mengatakan:
قل لءن اجتمعت الا نس و الجن على ان ياتوابمثل هذا القران لايأتون بمثله ولوكان بعضهم لبعض ظهيرا
Artinya : ”Katakanlah : Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk mengatakan yang serupa Al-qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuatnya, biarpun sebagian mereka membantu sebagian yang lain”. QS. Al-Israa’ Ayat 88.


B. Macam – Macam Mu’jizat
Mu’jizat dapat dibagi kepada dua macam, yaitu :
1. Mu’jizat hissi ialah yang dapat dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, diraba oleh tangan, dan dirasa oleh lidah, tegasnya dapat dicapai oleh panca indra. Mu’jizat ini sengaja ditunjukkan atau diperlihatkan manusia biasa, yakni mereka yang tidak biasa menggunakan kecerdasan fikirannya, yang tidak cakap pandangan mata hatinya dan yang rendah budi dan perasaannya.

2. Mu’jizat ma’nawi ialah mu’jizat yang tidak mungkin dapat dicapai dengan kekuatan panca indra, tetapi harus dicapai dengan kekuatan “aqli” atau dengan kecerdasan fikiran. Karena orang tidak akan mungkin mengenal mu’jizat ini, melainkan orang yang befikir sehat, bermata hati, berbudi luhur dan yang suka mempergunakan kecerdasan fikirannya dengan jernih serta jujur.


C. Beberapa Segi Kemu’jizatan Al-Qur’an
1. Susunan yang indah, berbeda dengan setiap susunan yang ada dalam bahasa orang-orang Arab.
2. Adanya uslub yang aneh, berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa Arab.
3. Sifat agung yang tidak mungkin lagi seorang makhluk untuk mendatangkan hal yang seperti itu.
4. Bentuk undang-undang yang detail lagi sempurna, melebihi setiap undang-undang buatan manusia.
5. Mengabarkan hal-hal ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali dengan wahyu.
6. Tidak bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang dipastikan kebenarannya.
7. Menepati janji dan ancaman yang dikabarkan Al-Qur’an.
8. Adanya ilmu-ilmu pengetahuan yang terkandung didalamnya, baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum.
9. Memenuhi segala kebutuhan manusia.
10. Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuh.

D. Mu’jizat Al-Qur’an Ditinjau Dari Segi Gaya Bahasa Dan Isinya
Dari segi bahasa, Al-qur’an merupakan bahasa bangsa Arab Quraisy yang mengandung sastra Arab yang sangat tinggi mutunya. Ketinggian mutu sastra Al-qur’an ini meliputi segala segi. Kaya akan perbendaharaan kata-kata, padat akan makna yang terkandung, sangat indah dan sangat bijaksana dalam menyuguhkanisinya, sehingga sesuai dengan orang yang tinggi maupun rendah daya intelektualnya.
Al-qur’an mempunyai gaya bahasa yang khas, yang tidak dapat ditiru oleh para sastrawan Arab sekalipun , karena susunan yang indah, yang berlainan dengan setiap susunan dalam bahasa Arab. Mereka melihat Al-qur’an memakai bahasa dan lafazh mereka, tetapi ia bukan puisi, prosa atau syair dan mereka tidak mampu membuat yang seperti itu ( meniru Al-qur’an ). Mereka putus asa lalu merenungkannya, kemudian mereka kagum dan menerimanya, lalu sebagian masuk Islam.
Syekh Muhammad Abduh dalam kitabnya “Risaalatut Tauhid” menerangkan bagaimana ketinggian dan kemajuan bahasa di masa turunnya Al-qur’an. Al-qur’an diturunkan pada suatu masa yang telah sepakat ahli-ahli riwayat mengatakan, bahwa masa itu adalah masa yang amat gemilang ditinjau dari segi kemajuan bahasa dan pada masa itu banyak sekali terdapat ahli-ahli sastera dan ahli-ahli pidato. Kemudian ia berkata mengenai tantangan Al-qur’an terhadap ahli-ahli sastera itu, Benarlah bahwa Al-qur’an itu suatu mu’jizat. Telah berlalu masa yang panjang, telah silih berganti datangnya angkatan demi angkatan, tantangan Al-qur’an tetap berlaku, tetapi tidak seorangpun yang dapat menjawabnya, semua kembali dengan tangan hampa karena lemah dan tiada berdaya.”Bukankah lahirnya kitab Al-qur’an ini , dibawa oleh seorang yang buta huruf, suatu mu’jizat yang terbesar, yang membuktikan bahwa ia bukanlah buatan manusia. Mamang ia adalah suatu mu’jizat yang membuktikan kebenaran Nabi Muhammad Saw, dan suatu Nur yang terpancar dari ilmu Ilahi.
Di samping Al-qur’an ditinjau dari segi bahasanya adalah suatau mu’jizat yang besar, maka ditinjau dari segi isinyapun ia mengandung mu’jizat pula. Beberapa contoh, antara lain :
1. Di dalam Al-qur’an terdapat berita-berita dan janji-janji mengenai masa yang akan datang. Kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan adalah di luar kekuasaan manusia untuk mengetahuinya. Memang ada ramalan – ramalan tukang tenung mengenai masa depan, tetapi itu hanya ramalan yang tiada dapat dijamin kebenarannya, tetapi semua berita-berita dan janji-janji yang tersebut dalam Al-qur’an adalah benar dan telah menjadi kenyataan, seperti : kerapkali kaum Musyrikin Mekah sebelum hijrah menantang kaum muslimin dan mengatakan “Bangsa Rum yang mempunyai kitab Injil telah dikalahkan oleh orang Persia (waktu itu mengaut agama Majusi)”. Maka kami pasti akan mengalahkan kamu, karena kamu adalah ahli kitab pula.
Kemudian turunlah Surah Ar-Rum Ayat 2-3, yang berbunyi :
غلبت الروم . في ادنى ا لارض وهم من بعد غلبهم سيغلبون.
Artinya : “Telah dikalahkan kerajaan Rum di negeri yang terdekat dan mereka sesudah kalah itu akan menang lagi dalam beberapa tahun”.

Memang kerajaan Rum di waktu turunnya ayat ini dalam keadaan sangat lemah dan tidak mungkin akan bangun lagi. Tetapi apa yang diberitakan Al-qur’an telah menjadi kenyataan dalam beberapa tahun kemudian.

2. Di dalam Al-qur’an terdapat pula fakta-fakta ilmiah yang tidak mungkin diketahui manusia di tanah Arab pada waktu itu, tetapi fakta-fakta tersebut dijelaskan dengan tepat dan sekarang diakui kebenarannya, seperti : Pada masa turunnya Al-qur’an, ilmu kedokteran di tanah Arab boleh dikatakan tidak ada, yang ada hanya ilmu pengobatan secara primitif dan takhyul. Namun demikian Al-qur’an menerangkan dalam surah Al-Mu’minun ayat 12,13 dan 14, yang berbunyi :
ولقد خلقنا الانسان من سللة من طين . ثم جعلنه نطفة في قرار مكيب . ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا ا لعلقة مضغة فخلقنا المضغة عظا ما فكسوناالعظم لحما ثم ابشأنه خلقا ا خر فتبا رك الله احسن الخا لقين
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati ( berasal ) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani ( yang disimpan ) dalam tempat yang kokoh ( rahim ). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah. Lalu ( segumpal ) darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Kemudian tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Sesudah itu kami jadikan ia makhluk yang ( berbentuk ) lain. Maka Maha Sucilah Alloh Pencipta yang paling baik”.

Pada mulanya ahli-ahli ilmu falak menetapkan bahwa matahari tetap, tidak berjalan ( beredar ) dan hanya bumilah yang beredar di sekeliling matahari, tetapi Al-qur’an menegaskan bahwa matahari juga berjalan. Sebagaimana tersebut didalam surah Yasin ayat 38, yang berbunyi :
والشمس تجرى لمستقرلها ذلك تقديرالعزيزالعليم
Artinya : “Dan matahari itu beredar di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan dari yang maha perkasa lagi maha mengetahui”.

Di samping itu, Al-qur’an sebagai mu’jizat Nabi Muhammad Saw isinya tidak bertentangan dengan teknologi modern. Ini sebagai bukti kebenaran Al-qur’an. Di antara ayat-ayat Al-qur’an yang mengungkapkan tentang teknologi modern adalah :
a. Angin disebut Al-qur’an dapat mengawinkan tumbuh-tumbuhan dan lain- lain, sebagaimana terdapat dalah surah Al-Hijr ayat 22, yang berbunyi :
وارسلنا الريح لواقح فانزلنامن السماءماء فاسقينكموه وما انتم له بخازنين.
Artinya : “Dan Kami telah meniupkan angina untuk mengawinkan tumbuh-tumbuhan dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.

b. Segala sesuatu dijadikan Alloh Swt berpasang-pasangan . Tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia berpasang-pasangan, sebagaimana terdapat dalam Surah Yasin Ayat 36, yang berbunyi :
سبحن الذى خلق الازواج كلهامماتنبت الارض ومن انفسهم وممالا يعلمون
Artinya : “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.

Ilmu dan teknologi yang sedang berkembang pesat akan menambah terungkapnya isi yang terkandung di dalam Al-qur’an. Bukan Al-qur’an yang harus tunduk kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi sebaliknya. Jika kekeliruan terjadi pada ilmu pengetahuan dan teknologi, harus dicari kebenarannya di dalam Al-qur’an.
Demikianlah dengan ringkas dapat disimpulkan bahwa Al-qur’an itu adalah suatu mu’jizat dipandang dari segi bahasanya dan mengandung mu’jizat pula ditinjau dari segi isinya, dan mu’jizat ini akan kekal sepanjang masa karena ia telah dijamin terpeliharanya oleh Alloh Subhanahu Wata’ala.
Alloh Swt akan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan Nya diseluruh penjuru dunia dan pada diri manusia sendiri sehingga terbukti kebenarannya bahwa Al-qur’an adalah benar dan merupakan Mu’jizat Nabi Muhammad Saw.
Al-qur’an dengan segala isinya yang bernilai mu’jizat adalah abadi. Tidak lenyap dengan lenyapnya hari, tidak mati dengan matinya Rasulullah Saw. Akan tetapi ia akan tegak di atas dunia, menentang setiap pendusta dan menjawab setiap orang yang ingkar serta sekaligus menyeru kepada seluruh umat untuk mengikuti petunjuk Islam menuju kepada kebahagiaan hakiki , kebahagiaan anak-anak manusia. Adapun mu’jizat para Rasul lain amat terbatas dalam jumlah dan masanya. Hilang bersama lenyapnya zaman dan bersama kematian Rasul itu.


BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu :
 Mu’jizat secara bahasa artinya melemahkan. Sedangkan secara istilah mu’jizat berarti sesuatu yang luar biasa yang diperlihatkan Alloh Swt melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulan.
 Mu’jizat dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mu’jizat hissi dan mu’jizat ma’nawi.
 Beberapa segi kemu’jizatan Al-qur’an antara lain adalah ; susunan bahasanya yang indah, tidak bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum, memenuhi segala kebutuhan manusia, dan lain sebagainya.
 Kemu’jizatan Al-quran pada dasarnya berpusat pada dua segi, yang pertama segi bahasa Al-qur’an, dan yang kedua dari segi Isi atau kandungan Al-qur’an.





















DAFTAR PUSTAKA



 Prof. DR.H.Said Agil Husin Al Munawar,M.A, Al-qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta, Ciputat Press, 2002.


 Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Berdialog dengan Al-qur’an, Bandung, Mizan, 1999.


 Dr. Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-qur’an,Jakarta, Pustaka Firdaus, 1993.


 Al-qur’an dan terjemahnya, Edisi Baru 1993


 Drs. Mudzakir As, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta, Litera antarnusa, 2004.

Sabtu, 27 Februari 2010

Kitab Shahih Bukhari Bab shalat Tarawih

Kitab Shalat Tarawih

Bab 1: Keutamaan Orang yang Mendirikan Shalat Sunnah pada Bulan Ramadhan

985. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau.”


Ibnu Syihab berkata, “Kemudian Rasulullah wafat sedangkan hal itu (shalat tarawih itu) tetap seperti itu. Selanjutnya, hal itu pun tetap begitu pada masa pemerintahan Abu Bakar dan pada masa permulaan pemerintahan Umar.”[1]


986. Abdurrahman bin Abd al-Qariy[2] berkata, “Saya keluar bersama Umar ibnul Khaththab pada suatu malam dalam bulan Ramadhan sampai tiba di masjid. Tiba-tiba orang-orang berkelompok-kelompok terpisah-pisah. Setiap orang shalat untuk dirinya sendiri. Ada orang yang mengerjakan shalat, kemudian diikuti oleh sekelompok orang. Maka, Umar berkata, ‘Sesungguhnya aku mempunyai ide. Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan menjadi satu dan mengikuti seorang imam yang pandai membaca Al-Qur’an, tentu lebih utama.’ Setelah Umar mempunyai azam (tekad) demikian, lalu dia mengumpulkan orang menjadi satu untuk berimam kepada Ubay bin Ka’ab.[3] Kemudian pada malam yang lain aku keluar bersama Umar, dan orang-orang melakukan shalat dengan imam yang ahli membaca Al-Qur’an. Umar berkata, ‘Ini adalah sebagus-bagus bid’ah (barang baru). Orang yang tidur dulu dan meninggalkan shalat pada permulaan malam (untuk melakukannya pada akhir malam) adalah lebih utama daripada orang yang mendirikannya (pada awal malam).’ Yang dimaksudkan olehnya ialah pada akhir malam. Adapun orang-orang itu mendirikannya pada permulaan malam.”


Catatan Kaki:



[1] Perkataan Ibnu Syihab pada bagian ini adalah mursal. Tetapi, bagian pertamanya diriwayatkan secara maushul, dan sudah disebutkan pada bagian akhir hadits Aisyah dalam hadits nomor 398.


[2] Abd dengan harkat tanwin pada huruf dal. Dan, al-Qariy dengan memberi tasydid pada huruf ya’, adalah nisbat kepada Qarah bin Daisy, pegawai Sayyidina Umar yang mengurusi baitul mal kaum muslimin.


[3] Diperintahkannya Ubay mengimami orang banyak dengan sebelas rakaat sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang sahih, seperti yang telah saya tahqiq di dalam kitab saya Shalat at-Tarawih (halaman 5254). Saya tegaskan di sana bahwa semua riwayat dari Umar yang bertentangan dengan riwayat ini adalah tidak sah isnadnya. Demikian juga yang diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas’ud, semuanya lemah, tidak sah, sebagaimana dapat Anda lihat penjelasannya di sana.

Senin, 08 Februari 2010

Sumber Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”

“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”. Hadits diriwayatkan al-Thabrani (lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15), hal 96.
Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan. Karena itu, pembahasan ini kami mengambil 4 macam sumber hukum yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka kami akan menjelaskan tentang Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas.
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
a. Apa definisi, garis besar isi, dan dasar hukum Al-Qur’an?
b. Apa definisi, pembagian dan kehujjahan Sunnah ?
c. Apa definisi dan macam-macam Ijma’?
d. Apa definisi dan rukun Qiyas?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembahasan yang berjudul tentang tafsir ta’wil dan terjemah yaitu:
1. Untuk mengetahui tentang definisi, garis besar isi, dan dasar hukum Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui definisi, pembagian dan kehujjahan Sunnah.
3. Untuk mengetahui definisi dan macam-macam Ijma’
4. Untuk mengetahui Apa definisi dan rukun Qiyas
.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu:
Bab I pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisannya.
Bab II pembahasan, yang terdiri dari Penjelasan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas.
Bab III penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran


BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an
1.1 Definisi Al-Qur’an
“Qur’an” menurut bahasa berarti “bacaan”. Di dalam Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata “Qur’an” dalam arti demikian sebagai tersebut dalam ayat 17, 18 surat (75) A1-Qiyaamah:
Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quran (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami, jika Kami telah membacakannya hendaklah kamu ikuti bacaannya.”
Kemudian dipakai kata “Quran” itu untuk Al-Quran yang hingga sekarang ini. Sedangkan pengertian al-Qur’an secara terminologis banyak dikemukakan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik disiplin ilmu bahasa, ilmu kalam, ushul fiqh, dan sebagainya dengan redaksi yang berbeda-beda. Perbedaan ini sudah tentu disebabkan oleh karena Al-Qur’an mempunyai kekhususan-kekhususan, sehingga penekanan dari masing-masing ulama ketika mendefinisikan al-Qur’an berdasarkan kapasitas keilmuan yang dimiliki, karena hendak mencari kekhasan al-Qur’an tersebut.
Menurut Dr. Subhi al-Shalih dalam kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur’an, bahwa definisi al-Qur’an yang disepakati oleh kalangan ahli bahasa, ahli kalam, ahli Fiqh, ushul fiqh, adalah sebagai berikut:
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ,ibadah”
Sementara itu al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an dengan:
“Lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. mulal dan surah atFatihah sampal akhir surab al-Nas.”
Sedangkan Manna’ al-Qatthan dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an dengan:
“Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan suatu ibadah.”
Nampaknya dari berbagai definisi al-Qur’an sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kalau dilihat dari segi redaksinya, maka definisi tersebut ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Semakin banyak sifat-sifat al-Qur’an yang diungkapkan, maka semakin panjang rumusan definisi al-Qur’an itu, demikian juga sebaliknya. Bahkan ada yang merumuskan definisi al-Qur’an dengan kalimat yang sangat pendek dengan mengungkapkan satu di antara sekian banyak keistimewaan al-Qur’an, bahwa “al-Qur’an adalah kalam Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat”. Dengan demikian, kalau definisi tentang al-Qur’an itu hendak dirumuskan kembali dengan melihat sifat-sifat al-Qur’an tersebut, maka rumusan definisi al-Qur’an yang paling jami’ dan mani’ adalah sebagaimana yang dirumuskan oleh Manna al-Qaththan di atas.
1.2 Garis Besar Isi Al-Qur’an
Pokok-pokok isi al-Qur'an ada lima.
a. tauhid kepercayaan kepada Allah swt, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasul, hari kiamat/kemudian, serta qada dan qadar yang baik dan buruk.
b. Tuntunan ibadah sebagai perubahan yang menghidupkan jiwa tauhid.
c. Janji dan ancaman: al-Qur'an menjanjikan pahala bagi orang yang menerima dan mengamalkan isi al-Qur'an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa.
d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup untuk kebahagiaan dunia akhirat.
e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah swt, yaitu orang-orang yang shalih seperti nabi-nabi, dan rasul-rasul juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah swt dan hukum-hukumnya.
Maksud sejarah ialah sebagai tuntunan dan tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlak.
1.3 Dasar Hukum Al-Qur’an
Al-Qur'an diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk dijadikan petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia. Dalam mengadakan perintah dan larangan, Al-Qur'an selalu berpedoman kepada dua hal yaitu: (1) tidak membedakan, dan (2) berangsur-angsur.
1. Tidak membedakan.
Firman Allah dalam Al-Qur'an;
Allah swt tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q,S. Al Baqorah;286.)
Allah swt menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu. (Q,S,Al-Baqorah;185.)
Dengan dasar itulah, kita boleh;
a. Mengqasar shalat(dari empat menjadi dua rakat)dan menjama '(mengumpulkan shalat)yang masing-masing apabila bepergian sesuai dengan syarat-syaratnya.
b. Boleh tidak berpuasa bila bepergian .
c. Boleh bertayamum sebagai ganti wudu'.
d. Boleh memakan-makan yang haramkan, jika keadaan memaksa.

2.Berangur-angsur
Al-Qur'an telah membuat Hukum yang berangsur angsur.Hal inidapat di ketahui sebagi berikut;
a. Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur seperti larangan-larangan minum-minuman keras dan penjudi, sebagaimana Firman Allah swt
Artinya ;Mereka bertanya kepadamu tentang minuman yang memabukan dan tentang penjudian, Katakan oleh mu bahwa minuman yang memabukan dan penjudi itu dosa besar dan ada manfatkannya bagi manusia,tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya. (Q,S,Al-baqarah;219)
Lalu datanglah fase yang ke dua dari fase mengharamkannya sesaat sebelum shalat bahwa bekas-bekasnya harus lenyap sebelum shalat,yaitu dengan firman Allah swt;
Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah mendekati shalat jika kamu dalam keadan mabuk. (Q. S. An-nisa; 43.)
Kemudian datanglah fase terakhir yaitu larangan keras terhadap arak dan judi. Setelah banyak orang-orang menninggalkan kebiasaan itu dan sesudah turun ayat yang pertama dan yang kedua, yaitu fiman Allah swt:
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi dan bertenung adalah pekerjaan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu memperoleh kebahagiaan. (Q. S. al-Qur'an-Maidah: 90)
Demikianlah Allah swt membuat larangan secara berangsur-angsur pula, misalnya pengumuman dasar peperangan dan jihad dimasa permulaan Islam di kota Mekkah dan Maddinah.

B. As-Sunnah
2.1 Definisi Sunnah
Kata sunnah yang berasal dari bahasa arab secara etimologis berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu baik atau buruk.
Dalam Al-Qur’an terdapat kata sunnah dalam 16 tempat dengan arti kebiasaan yang berlaku dan jalan yang diikuti, seperti Firman Allah surat Ali Imran ayat 137 :
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
Dan Firman Allah surat Al-Isra ayat 77 :

“Sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu.”

2.2 Pembagian Sunnah
a. Sunnah Qauliyah, yaitu perkataan dari Rasul contohnya yang sudah masyhur ialah Hadis:
“sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung kepada niat.”{(H. R. Bukhari Muslim)
b. Sunnah fi'liyah, yaitu perbuatan Rasulullah saw, yang dapat disimpulkan sebagai perintah atau larangan melalui contoh teladan beliau.
Contoh seperti pelaksanaan ibadah shalat, puasa, haji dan sebagainya.
c. Sunnah taqririyah, yaitu pengakuan dan penetapan pemberian perseetujuan hal-hal yang dilakukan oleh para shahabat, baik yang perkataan maupun perbuatan.
Contohnya seperti kisah dua orang shahabat dalam keadaan mufasir tidak menemukan air, sedang keduanya ingin melaksanakan shalat. Selesainya shalat keduanya melanjutkan perjalanan dan menemukan air, sedangkan waktu shalat masih ada, salah seorang dari keduanya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang satunya tidak mengulangi shalatnya. Engkau telah mengikuti sunnahku dan telah memenuhi kewajiban shalatmu, sedangkan beliau berkata: engkau mendapat pahala dua kali.
d. sunnah hammiyah, ialah suatu amalan yang dikehendaki atau diinginkan Nabi saw, tetapi belum sampai beliau kerjakan sesudah wafat, misalnya puasa tanggal sembilan Muharram.
3.2 Kehujjahan Sunnah
Kaum muslimin sepakat bahwa sunnah sebagai dasar hukum yang kedua sesudah al-Qur'an, kesimpulan ini diperoleh berdasarkan dalil-dalil yang memberikan petunjuk tentang kedua kedudukan dan fungsi sunnah, baik yang nash, ijma, ataupun pertimbangan akal yang sehat.
1) dalil yang berupa nash antara lain, firman allah dalam al-Qur'an:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan yang ddilarangnya bagimu maka tinggalkan.” (Q. S. al-Hasyr: 7)

“Barang siapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya mentaati Allah swt.” (Q. S. an-Nisa: 80)
2. dalil akal
Bila sunnah tidak menjadi dasar hukum (hujjah) maka seebagaimana cara melaksanakan perintah al-Qur'an yang masih bersifat ijmal, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Dalam perintah shalat tersebut, melainkan Rasul langsung memberikan contoh pelaksanaannya, dengan demikian tidak patut kita sangkal mengenai kedudukan sunnah sebagai salah satu sumber hukum.
Sunnah terhadap al-Qur'an meliputi tiga fungsi pokok yaitu:
1. Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam al-Qur'an. Contohnya seperti perintah melaksanakan shalat, puasa, zakat dan haji, larangan menghardik orang tua, larangan membunuh kecuali dengan jalan haq dicantumkan dalam al-Qur'an ditegaskan juga dalam sunnah.
2. menguraikan dan merincikan yang global atau mujmal, mengkaitkan yang mutlak dan mentaksiskan yang umum ('am), tafsir yang berfungsi penjelasan apa yang dikehendaki al-Qur'an, rasulullah saw, memang mempunyai tugas penjelas kitabullah al-Qur'an.
Contohnya seperti penjelasan tata cara ibadah shalat, puasa, dan Haji, penjelasan harta benda yang diwaajibkan mengeluarkan zakatnya dan nisabnya, masing-masing menjelasakan akan jual beli yang mengandung riba, menentukan berbagai yang haram dan yang tidak haram dan lain sebagainya.
3. Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur'an hukum yang terjadi adalah merupakan produk sunnah sendiri yang tidak ditunjukan oleh al-Qur'an contohnya seperti haram memadu seseorang perempuan dengan bibinya dari pihak ibunya, haram makan daging burung yang berkuku panjang, haram memakai sutra dan cincin emas bagi laki-laki dan sebagainya.
Sunnah yang dapat dijadikan hujjah
sunnah yang dapat dijadikan hujjah adalah yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya dengan uraian berikut:
a. sunnah mutawatir, yatu yang diriwayatkan dengan sanad yang banyak, sehingga tidak ditentukan lagi siapa-siapa saja yang diriwayatkannya, umumnya hadis yang demikian populer dalam masyarakat, tak seorangpun yang menolak keasliannya.
b. Sunnah masyhur, yaitu yang diriwayatkan dengan paling sedikit tiga sanad.
c. Sunnah ahad, yaitu yang diriwayatkan dengan dua atau satu sanad saja, tingkat ahad inilah yang baik

C. Ijma
3.1 Definisi Ijma
Ijma’ menurut bahasa, mengandung dua pengertian, yaitu :
a. Ittifaq(kesepakatan), seperti dikatakan “Suatu kaum ialah berijma’ tentang sesuatu”, maksudnya apabila mereka menyepakatinya;
b. ‘azam (cita-cita, hasrat)
seperti dalam firman Allah :
  
( maka ijma’kanlah urusanmu dan sekutumu) Q. S.Yunus : 71. maksudnya cita-citakanlah apa urusanmu.
Ijma’ menurut syara’ (dalam pandangan jumhur) adalah kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin disesuaikan masa setelah wafat Nabi saw. tentang sesuatu urusan (masalah) diantara masalah-masalah yang diragukan ( yang belum ada ketetapannya dalam kitab dan Sunnah). Seperti pembahagian untuk cucu dalam pembagian harta pusaka (faraidh), seperti firman Allah surat An-Nisa ayat 11 :
         
“Allah telah menentukan bahagian anak-anakmu, untuk laki-laki dua kali bahagian wanita.”
Dalam ayat ini tidak disebutkan cucu, oleh sebab itu menurut Ijma’ ulama, cucu sama dengan anak, jika anak tidak ada, cucu mendapat pembahagian harta pusaka (ahli waris)
3.2 Macam-Macam Ijma’
Dilihat kepada bentuknya Ijma’ dapat dibedakan kepada dua bahagian :
a. Ijma’ Qath’iy, yaitu suatub kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu masalah tanpa bantahan dari mereka. Ijma’ Qath’iy ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah.
b. Ijma’ Sukutiy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum masalah, kesepakatan mana mendapat tantangan (hambatan) diantara mereka atau tenang (diam) saja salah seorang diantara mereka dalam mengambil suatu keputusan masalah itu.

D. Qiyas
4..1 Definisi Qiyas
Dasar hukum yang keempat ialah Qiyas. Qiyas dipergunakan untuk memantapkan hukum suatu masalah jika tidak terdapat ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Hadits dapat ditetapkan dengan Qiyas, seperti mengqiyaskan wajib zakat padi kepada gandum karena gandum dan padi adalah makanan pokok manusia (sama-sama mengenyangi). Untuk dapat melakukannya Qiyas itu terdapat dua pokok yang diperlukan yaitu :
a. Maqis ‘alaih = tempat mengqiyaskan
b. Maqis = yang diqiyaskan
Qiyas menurut bahasa adalah ukuran ,perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan ‘ilatnya. Menurut istilah agama, qiyas yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama ‘illat antara keduanya (asal dan furu’).
4.2 Rukun Qiyas
Suatu masalah dapat diqiyaskan apabila memenuhi 4 rukun, yaitu :
a. Asal, yaitu dasar, titik tolak dimana suatu masalah itu dapat disamakan (musyabbah bih)
b. Furu’, suatu masalah yang akan diqiyaskan disamakan dengan asal tadi disebut musyabbah.
c. ‘illat, suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu dengan persamaan sebab inilah baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (asal) karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dengan furu’.
d. Hukum, yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada ketetapan hukumnya pada asal, disebut buahnya.
Contoh :
Asal Furu’/cabang ‘Illat Hukum
Khamar Wisky Memabukkan Haram
Gandum Padi Mengenyangi Wajib





BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ulama’ sepakat bahwa sumber- sumber hukum islam yang bisa kita jadikan hujjah adalah Al-qur’an ,hadis ,ijma’ dan qiyas. Alasannya karena al-qur’an dan hadis yang menjadi sumber hukum islam yang utama tidak ada lagi setelah rasullullah SAW. wafat padahal sejalan dengan perioderisasi manusia yang semakin berkembang maka permasalahan barupun ikut-ikut berkembang sehingga ulama’ melakukan ijtihad yang disepakati oleh sahabat sebagai sumber hukum sehingga menjadi ijma’ dan mengqiyaskan hukum yang yang tidak ada dalam al-quran ,hadis dan ijma’ untuk menyelesaikan hukum permasalahan baru.


DAFTAR PUSTAKA


Ichwan, Mohammad Nor. 2005. Belajar Al-Qur’an Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis. Semarang: RaSAIL.
Abidin S.,Zainal. 1992. SELUK BELUK AL-QURAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Syah, Ismail Muhammad Prof.Dr. H. S.H. dkk. 1992. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Bakry, Nazar Drs. 1984. Fiqh dan Ushul Fiqh. Padang : Aksara Persada.
Djamil, Fathurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Ciputat : Logos Wacana Ilmu.
Abdullah, Sulaiman. Dr. H. 2004. SUMBER HUKUM ISLAM Permasalahan da Fleksibilitasnya. Jakarta : Sinar Garfika
Kamali, Mohammad Hashim. 1996. Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Al-Fiqh) (terjemahan Principles of Islamic Jurisprudence). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.