Sabtu, 27 Februari 2010

Kitab Shahih Bukhari Bab shalat Tarawih

Kitab Shalat Tarawih

Bab 1: Keutamaan Orang yang Mendirikan Shalat Sunnah pada Bulan Ramadhan

985. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mendirikan (shalat malam) Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosanya yang telah lampau.”


Ibnu Syihab berkata, “Kemudian Rasulullah wafat sedangkan hal itu (shalat tarawih itu) tetap seperti itu. Selanjutnya, hal itu pun tetap begitu pada masa pemerintahan Abu Bakar dan pada masa permulaan pemerintahan Umar.”[1]


986. Abdurrahman bin Abd al-Qariy[2] berkata, “Saya keluar bersama Umar ibnul Khaththab pada suatu malam dalam bulan Ramadhan sampai tiba di masjid. Tiba-tiba orang-orang berkelompok-kelompok terpisah-pisah. Setiap orang shalat untuk dirinya sendiri. Ada orang yang mengerjakan shalat, kemudian diikuti oleh sekelompok orang. Maka, Umar berkata, ‘Sesungguhnya aku mempunyai ide. Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan menjadi satu dan mengikuti seorang imam yang pandai membaca Al-Qur’an, tentu lebih utama.’ Setelah Umar mempunyai azam (tekad) demikian, lalu dia mengumpulkan orang menjadi satu untuk berimam kepada Ubay bin Ka’ab.[3] Kemudian pada malam yang lain aku keluar bersama Umar, dan orang-orang melakukan shalat dengan imam yang ahli membaca Al-Qur’an. Umar berkata, ‘Ini adalah sebagus-bagus bid’ah (barang baru). Orang yang tidur dulu dan meninggalkan shalat pada permulaan malam (untuk melakukannya pada akhir malam) adalah lebih utama daripada orang yang mendirikannya (pada awal malam).’ Yang dimaksudkan olehnya ialah pada akhir malam. Adapun orang-orang itu mendirikannya pada permulaan malam.”


Catatan Kaki:



[1] Perkataan Ibnu Syihab pada bagian ini adalah mursal. Tetapi, bagian pertamanya diriwayatkan secara maushul, dan sudah disebutkan pada bagian akhir hadits Aisyah dalam hadits nomor 398.


[2] Abd dengan harkat tanwin pada huruf dal. Dan, al-Qariy dengan memberi tasydid pada huruf ya’, adalah nisbat kepada Qarah bin Daisy, pegawai Sayyidina Umar yang mengurusi baitul mal kaum muslimin.


[3] Diperintahkannya Ubay mengimami orang banyak dengan sebelas rakaat sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang sahih, seperti yang telah saya tahqiq di dalam kitab saya Shalat at-Tarawih (halaman 5254). Saya tegaskan di sana bahwa semua riwayat dari Umar yang bertentangan dengan riwayat ini adalah tidak sah isnadnya. Demikian juga yang diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas’ud, semuanya lemah, tidak sah, sebagaimana dapat Anda lihat penjelasannya di sana.

Senin, 08 Februari 2010

Sumber Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”

“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”. Hadits diriwayatkan al-Thabrani (lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15), hal 96.
Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan. Karena itu, pembahasan ini kami mengambil 4 macam sumber hukum yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas maka kami akan menjelaskan tentang Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas.
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
a. Apa definisi, garis besar isi, dan dasar hukum Al-Qur’an?
b. Apa definisi, pembagian dan kehujjahan Sunnah ?
c. Apa definisi dan macam-macam Ijma’?
d. Apa definisi dan rukun Qiyas?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembahasan yang berjudul tentang tafsir ta’wil dan terjemah yaitu:
1. Untuk mengetahui tentang definisi, garis besar isi, dan dasar hukum Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui definisi, pembagian dan kehujjahan Sunnah.
3. Untuk mengetahui definisi dan macam-macam Ijma’
4. Untuk mengetahui Apa definisi dan rukun Qiyas
.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu:
Bab I pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisannya.
Bab II pembahasan, yang terdiri dari Penjelasan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas.
Bab III penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran


BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an
1.1 Definisi Al-Qur’an
“Qur’an” menurut bahasa berarti “bacaan”. Di dalam Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata “Qur’an” dalam arti demikian sebagai tersebut dalam ayat 17, 18 surat (75) A1-Qiyaamah:
Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quran (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami, jika Kami telah membacakannya hendaklah kamu ikuti bacaannya.”
Kemudian dipakai kata “Quran” itu untuk Al-Quran yang hingga sekarang ini. Sedangkan pengertian al-Qur’an secara terminologis banyak dikemukakan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik disiplin ilmu bahasa, ilmu kalam, ushul fiqh, dan sebagainya dengan redaksi yang berbeda-beda. Perbedaan ini sudah tentu disebabkan oleh karena Al-Qur’an mempunyai kekhususan-kekhususan, sehingga penekanan dari masing-masing ulama ketika mendefinisikan al-Qur’an berdasarkan kapasitas keilmuan yang dimiliki, karena hendak mencari kekhasan al-Qur’an tersebut.
Menurut Dr. Subhi al-Shalih dalam kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur’an, bahwa definisi al-Qur’an yang disepakati oleh kalangan ahli bahasa, ahli kalam, ahli Fiqh, ushul fiqh, adalah sebagai berikut:
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ,ibadah”
Sementara itu al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an dengan:
“Lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. mulal dan surah atFatihah sampal akhir surab al-Nas.”
Sedangkan Manna’ al-Qatthan dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an dengan:
“Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan suatu ibadah.”
Nampaknya dari berbagai definisi al-Qur’an sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kalau dilihat dari segi redaksinya, maka definisi tersebut ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Semakin banyak sifat-sifat al-Qur’an yang diungkapkan, maka semakin panjang rumusan definisi al-Qur’an itu, demikian juga sebaliknya. Bahkan ada yang merumuskan definisi al-Qur’an dengan kalimat yang sangat pendek dengan mengungkapkan satu di antara sekian banyak keistimewaan al-Qur’an, bahwa “al-Qur’an adalah kalam Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat”. Dengan demikian, kalau definisi tentang al-Qur’an itu hendak dirumuskan kembali dengan melihat sifat-sifat al-Qur’an tersebut, maka rumusan definisi al-Qur’an yang paling jami’ dan mani’ adalah sebagaimana yang dirumuskan oleh Manna al-Qaththan di atas.
1.2 Garis Besar Isi Al-Qur’an
Pokok-pokok isi al-Qur'an ada lima.
a. tauhid kepercayaan kepada Allah swt, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasul, hari kiamat/kemudian, serta qada dan qadar yang baik dan buruk.
b. Tuntunan ibadah sebagai perubahan yang menghidupkan jiwa tauhid.
c. Janji dan ancaman: al-Qur'an menjanjikan pahala bagi orang yang menerima dan mengamalkan isi al-Qur'an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa.
d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup untuk kebahagiaan dunia akhirat.
e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah swt, yaitu orang-orang yang shalih seperti nabi-nabi, dan rasul-rasul juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah swt dan hukum-hukumnya.
Maksud sejarah ialah sebagai tuntunan dan tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlak.
1.3 Dasar Hukum Al-Qur’an
Al-Qur'an diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk dijadikan petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia. Dalam mengadakan perintah dan larangan, Al-Qur'an selalu berpedoman kepada dua hal yaitu: (1) tidak membedakan, dan (2) berangsur-angsur.
1. Tidak membedakan.
Firman Allah dalam Al-Qur'an;
Allah swt tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q,S. Al Baqorah;286.)
Allah swt menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu. (Q,S,Al-Baqorah;185.)
Dengan dasar itulah, kita boleh;
a. Mengqasar shalat(dari empat menjadi dua rakat)dan menjama '(mengumpulkan shalat)yang masing-masing apabila bepergian sesuai dengan syarat-syaratnya.
b. Boleh tidak berpuasa bila bepergian .
c. Boleh bertayamum sebagai ganti wudu'.
d. Boleh memakan-makan yang haramkan, jika keadaan memaksa.

2.Berangur-angsur
Al-Qur'an telah membuat Hukum yang berangsur angsur.Hal inidapat di ketahui sebagi berikut;
a. Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur seperti larangan-larangan minum-minuman keras dan penjudi, sebagaimana Firman Allah swt
Artinya ;Mereka bertanya kepadamu tentang minuman yang memabukan dan tentang penjudian, Katakan oleh mu bahwa minuman yang memabukan dan penjudi itu dosa besar dan ada manfatkannya bagi manusia,tetapi dosanya lebih besar dari manfaatnya. (Q,S,Al-baqarah;219)
Lalu datanglah fase yang ke dua dari fase mengharamkannya sesaat sebelum shalat bahwa bekas-bekasnya harus lenyap sebelum shalat,yaitu dengan firman Allah swt;
Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah mendekati shalat jika kamu dalam keadan mabuk. (Q. S. An-nisa; 43.)
Kemudian datanglah fase terakhir yaitu larangan keras terhadap arak dan judi. Setelah banyak orang-orang menninggalkan kebiasaan itu dan sesudah turun ayat yang pertama dan yang kedua, yaitu fiman Allah swt:
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi dan bertenung adalah pekerjaan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kamu memperoleh kebahagiaan. (Q. S. al-Qur'an-Maidah: 90)
Demikianlah Allah swt membuat larangan secara berangsur-angsur pula, misalnya pengumuman dasar peperangan dan jihad dimasa permulaan Islam di kota Mekkah dan Maddinah.

B. As-Sunnah
2.1 Definisi Sunnah
Kata sunnah yang berasal dari bahasa arab secara etimologis berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu baik atau buruk.
Dalam Al-Qur’an terdapat kata sunnah dalam 16 tempat dengan arti kebiasaan yang berlaku dan jalan yang diikuti, seperti Firman Allah surat Ali Imran ayat 137 :
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
Dan Firman Allah surat Al-Isra ayat 77 :

“Sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu.”

2.2 Pembagian Sunnah
a. Sunnah Qauliyah, yaitu perkataan dari Rasul contohnya yang sudah masyhur ialah Hadis:
“sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung kepada niat.”{(H. R. Bukhari Muslim)
b. Sunnah fi'liyah, yaitu perbuatan Rasulullah saw, yang dapat disimpulkan sebagai perintah atau larangan melalui contoh teladan beliau.
Contoh seperti pelaksanaan ibadah shalat, puasa, haji dan sebagainya.
c. Sunnah taqririyah, yaitu pengakuan dan penetapan pemberian perseetujuan hal-hal yang dilakukan oleh para shahabat, baik yang perkataan maupun perbuatan.
Contohnya seperti kisah dua orang shahabat dalam keadaan mufasir tidak menemukan air, sedang keduanya ingin melaksanakan shalat. Selesainya shalat keduanya melanjutkan perjalanan dan menemukan air, sedangkan waktu shalat masih ada, salah seorang dari keduanya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang satunya tidak mengulangi shalatnya. Engkau telah mengikuti sunnahku dan telah memenuhi kewajiban shalatmu, sedangkan beliau berkata: engkau mendapat pahala dua kali.
d. sunnah hammiyah, ialah suatu amalan yang dikehendaki atau diinginkan Nabi saw, tetapi belum sampai beliau kerjakan sesudah wafat, misalnya puasa tanggal sembilan Muharram.
3.2 Kehujjahan Sunnah
Kaum muslimin sepakat bahwa sunnah sebagai dasar hukum yang kedua sesudah al-Qur'an, kesimpulan ini diperoleh berdasarkan dalil-dalil yang memberikan petunjuk tentang kedua kedudukan dan fungsi sunnah, baik yang nash, ijma, ataupun pertimbangan akal yang sehat.
1) dalil yang berupa nash antara lain, firman allah dalam al-Qur'an:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan yang ddilarangnya bagimu maka tinggalkan.” (Q. S. al-Hasyr: 7)

“Barang siapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya mentaati Allah swt.” (Q. S. an-Nisa: 80)
2. dalil akal
Bila sunnah tidak menjadi dasar hukum (hujjah) maka seebagaimana cara melaksanakan perintah al-Qur'an yang masih bersifat ijmal, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Dalam perintah shalat tersebut, melainkan Rasul langsung memberikan contoh pelaksanaannya, dengan demikian tidak patut kita sangkal mengenai kedudukan sunnah sebagai salah satu sumber hukum.
Sunnah terhadap al-Qur'an meliputi tiga fungsi pokok yaitu:
1. Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam al-Qur'an. Contohnya seperti perintah melaksanakan shalat, puasa, zakat dan haji, larangan menghardik orang tua, larangan membunuh kecuali dengan jalan haq dicantumkan dalam al-Qur'an ditegaskan juga dalam sunnah.
2. menguraikan dan merincikan yang global atau mujmal, mengkaitkan yang mutlak dan mentaksiskan yang umum ('am), tafsir yang berfungsi penjelasan apa yang dikehendaki al-Qur'an, rasulullah saw, memang mempunyai tugas penjelas kitabullah al-Qur'an.
Contohnya seperti penjelasan tata cara ibadah shalat, puasa, dan Haji, penjelasan harta benda yang diwaajibkan mengeluarkan zakatnya dan nisabnya, masing-masing menjelasakan akan jual beli yang mengandung riba, menentukan berbagai yang haram dan yang tidak haram dan lain sebagainya.
3. Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam al-Qur'an hukum yang terjadi adalah merupakan produk sunnah sendiri yang tidak ditunjukan oleh al-Qur'an contohnya seperti haram memadu seseorang perempuan dengan bibinya dari pihak ibunya, haram makan daging burung yang berkuku panjang, haram memakai sutra dan cincin emas bagi laki-laki dan sebagainya.
Sunnah yang dapat dijadikan hujjah
sunnah yang dapat dijadikan hujjah adalah yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya dengan uraian berikut:
a. sunnah mutawatir, yatu yang diriwayatkan dengan sanad yang banyak, sehingga tidak ditentukan lagi siapa-siapa saja yang diriwayatkannya, umumnya hadis yang demikian populer dalam masyarakat, tak seorangpun yang menolak keasliannya.
b. Sunnah masyhur, yaitu yang diriwayatkan dengan paling sedikit tiga sanad.
c. Sunnah ahad, yaitu yang diriwayatkan dengan dua atau satu sanad saja, tingkat ahad inilah yang baik

C. Ijma
3.1 Definisi Ijma
Ijma’ menurut bahasa, mengandung dua pengertian, yaitu :
a. Ittifaq(kesepakatan), seperti dikatakan “Suatu kaum ialah berijma’ tentang sesuatu”, maksudnya apabila mereka menyepakatinya;
b. ‘azam (cita-cita, hasrat)
seperti dalam firman Allah :
  
( maka ijma’kanlah urusanmu dan sekutumu) Q. S.Yunus : 71. maksudnya cita-citakanlah apa urusanmu.
Ijma’ menurut syara’ (dalam pandangan jumhur) adalah kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin disesuaikan masa setelah wafat Nabi saw. tentang sesuatu urusan (masalah) diantara masalah-masalah yang diragukan ( yang belum ada ketetapannya dalam kitab dan Sunnah). Seperti pembahagian untuk cucu dalam pembagian harta pusaka (faraidh), seperti firman Allah surat An-Nisa ayat 11 :
         
“Allah telah menentukan bahagian anak-anakmu, untuk laki-laki dua kali bahagian wanita.”
Dalam ayat ini tidak disebutkan cucu, oleh sebab itu menurut Ijma’ ulama, cucu sama dengan anak, jika anak tidak ada, cucu mendapat pembahagian harta pusaka (ahli waris)
3.2 Macam-Macam Ijma’
Dilihat kepada bentuknya Ijma’ dapat dibedakan kepada dua bahagian :
a. Ijma’ Qath’iy, yaitu suatub kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu masalah tanpa bantahan dari mereka. Ijma’ Qath’iy ini dapat dijadikan dalil (alasan) dalam menetapkan hukum suatu masalah.
b. Ijma’ Sukutiy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum masalah, kesepakatan mana mendapat tantangan (hambatan) diantara mereka atau tenang (diam) saja salah seorang diantara mereka dalam mengambil suatu keputusan masalah itu.

D. Qiyas
4..1 Definisi Qiyas
Dasar hukum yang keempat ialah Qiyas. Qiyas dipergunakan untuk memantapkan hukum suatu masalah jika tidak terdapat ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Hadits dapat ditetapkan dengan Qiyas, seperti mengqiyaskan wajib zakat padi kepada gandum karena gandum dan padi adalah makanan pokok manusia (sama-sama mengenyangi). Untuk dapat melakukannya Qiyas itu terdapat dua pokok yang diperlukan yaitu :
a. Maqis ‘alaih = tempat mengqiyaskan
b. Maqis = yang diqiyaskan
Qiyas menurut bahasa adalah ukuran ,perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan ‘ilatnya. Menurut istilah agama, qiyas yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama ‘illat antara keduanya (asal dan furu’).
4.2 Rukun Qiyas
Suatu masalah dapat diqiyaskan apabila memenuhi 4 rukun, yaitu :
a. Asal, yaitu dasar, titik tolak dimana suatu masalah itu dapat disamakan (musyabbah bih)
b. Furu’, suatu masalah yang akan diqiyaskan disamakan dengan asal tadi disebut musyabbah.
c. ‘illat, suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu dengan persamaan sebab inilah baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (asal) karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dengan furu’.
d. Hukum, yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada ketetapan hukumnya pada asal, disebut buahnya.
Contoh :
Asal Furu’/cabang ‘Illat Hukum
Khamar Wisky Memabukkan Haram
Gandum Padi Mengenyangi Wajib





BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ulama’ sepakat bahwa sumber- sumber hukum islam yang bisa kita jadikan hujjah adalah Al-qur’an ,hadis ,ijma’ dan qiyas. Alasannya karena al-qur’an dan hadis yang menjadi sumber hukum islam yang utama tidak ada lagi setelah rasullullah SAW. wafat padahal sejalan dengan perioderisasi manusia yang semakin berkembang maka permasalahan barupun ikut-ikut berkembang sehingga ulama’ melakukan ijtihad yang disepakati oleh sahabat sebagai sumber hukum sehingga menjadi ijma’ dan mengqiyaskan hukum yang yang tidak ada dalam al-quran ,hadis dan ijma’ untuk menyelesaikan hukum permasalahan baru.


DAFTAR PUSTAKA


Ichwan, Mohammad Nor. 2005. Belajar Al-Qur’an Menyingkap Khazanah Ilmu-ilmu al-Qur’an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis. Semarang: RaSAIL.
Abidin S.,Zainal. 1992. SELUK BELUK AL-QURAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Syah, Ismail Muhammad Prof.Dr. H. S.H. dkk. 1992. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Bakry, Nazar Drs. 1984. Fiqh dan Ushul Fiqh. Padang : Aksara Persada.
Djamil, Fathurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Ciputat : Logos Wacana Ilmu.
Abdullah, Sulaiman. Dr. H. 2004. SUMBER HUKUM ISLAM Permasalahan da Fleksibilitasnya. Jakarta : Sinar Garfika
Kamali, Mohammad Hashim. 1996. Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam (Usul Al-Fiqh) (terjemahan Principles of Islamic Jurisprudence). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.