Sabtu, 29 Desember 2012

Analisis Kontrastif


Analisis Kontrastif
1.   Pengertian
Analisis kontrastif adalah aktivitas atau kegiatan yang mencoba membandingkan struktur B1 dengan struktur B2 untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan antara kedua bahasa. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam meramalkan atau memprediksi kesulitan-kesulitan belajar berbahasa yang akan dihadapi para siswa.[1]
Hambatan terbesar dalam proses menguasai bahasa  kedua (B2) adalah tercampurnya sistem bahasa  pertama (B1) dengan sistem B2. Analisis kontrastif (Anakon) mencoba menjembatani kesulitan tersebut dengan mengkontraskan kedua sistem bahasa  tersebut untuk meramalkan kesulitan-kesulitan yang terjadi.
1.      Acuan Teori
Analisis kontrastif sering dipersamakan dengan istilah Linguistik Kontrastif. Linguistik kontrastif adalah suatu cabang ilmu bahasa  yang tugasnya membandingkan secara sinkronis dua bahasa sedemikian rupa sehingga kemiripan dan perbedaan kedua bahasa itu bisa dilihat.[2]
Penetapan analisis kontrastif dalam pengajaran bahasa  didasarkan pada asumsi teoritis bahwa :
a.       Materi pengajaran bahasa  yang paling efektif adalah materi yang didasarkan pada deskripsi bahasa  itu (Fries, 1945).
b.      Dengan mengkontrakan bahasa  pertama dengan bahasa  yang akan dipelajari dapat meramalkan dan mendeskripsikan pola-pola yang akan menyebabkan kesulitan dan kemudahan belajar bahasa  (Lado, 1957).
c.       Perubahan yang harus terjadi pada tingkah laku seseorang yang belajar bahasa  asing dapat disamakan dengan perbedaan antar struktur bahasa  dan budaya murid dengan struktur bahasa  dan budaya yang akan dipelajari (Valdman’s 1960, dalam Wardhaugh, 1970).
Anakon menjadi semakin populer setelah muncul karya Lado (1959) yang berjudul Lingusitik A Cross Culture yang menguraikan secara panjang lebar mengenai cara-cara mengkontraskan dua bahasa. Buku tersebut berisi uraian anakon antara bahasa  Inggris dengan bahasa  Spanyol, dengan suplemen contoh-contoh lain dari bahasa  Cina, Muangthai dan sebagainya. Lado menganjurkan agar pengkontrasan itu dilakukan terhadap fonologi, struktur gramatikal, kosakata serta sistem tulisan. [3]
2.      Hipotesis Analisis Kontrastif
Perbandingan struktur antara dua bahasa  B1 dan B2 yang akan dipelajari oleh siswa menghasilkan identifikasi perbedaan antara kedua bahasa  tersebut. Perbedaan antara dua bahasa  merupakan dasar untuk memperkirakan butir-butir yang menimbulkan kesulitan belajar bahasa  dan kesalahan yang akan dihadapi oleh siswa. Dari sinilah dijabarkan hipotesis analisis kontrastif.
Dalam perkembangannya kita mengenal dua versi hipotesis anakon, hipotesis bentuk kuat menyatakan bahwa “Semua kesalahan dalam B2 dapat diramalkan dengan mengidentifikasi perbedaan antara B1 dan B2 yang dipelajari oleh para siswa. Sedangkan hipotesis bentuk lemah menyatakan bahwa anakon hanyalah bersifat diagnostik belaka. Karena itu anakon dan analisis kesalahan (anakes) harus saling melengkapi. Anakes mengidentifikasi kesalahan di dalam korpus bahasa  siswa, kemudian anakon menetapkan kesalahan mana yang termasuk ke dalam kategori yang disebabkan oleh perbedaan B1 dan B2.[4]
Hipotesis bentuk kuat ini didasarkan kepada asumsi-asumsi berikut ini :
1.      Penyebab utama atau penyebab tunggal kesulitan belajar dan kesalahan dalam pengajaran asing adalah interferensi bahasa ibu.
2.      Kesulitan belajar itu sebagian atau seluruhnya disebabkan oleh perbedaan B1 dan B2.
3.      Semakin besar perbedaan antara B1 dan B2 semakin akut atau gawat kesulitan belajar.
4.      Hasil perbandingan antara B1 dan B2 diperlukan untuk meramalkan kesulitan dan kesalahan yang akan terjadi dalam belajar bahasa asing.
5.      Bahan pengajaran dapat ditentukan secara tepat dengan membandingkan kedua bahasa itu, kemudian dikurangi dengan bagian yang sama, sehingga apa yang harus dipelajari oleh siswa adalah sejumlah perbedaan yang disusun berdasarkan kontrastif.[5]
Ada tiga sumber yang digunakan sebagai penguat hipotesis anakon, yaitu :
a.      Pengalaman praktis guru bahasa  asing
Setiap pengajar atau guru bahasa  asing (B2) yang sudah berpengalaman pasti mengetahui secara pasti bahwa kesalahan yang berjumlah cukup besar dan tetap atau selalu berulang dapat dipulangkan kembali kepada tekanan B1 para siswa. Tekanan atau dorongan B1 tersebut dapat terjadi pada pelafalan, susunan kata, pembentukan kata, susunan kalimat, dan sebagainya. Misalnya, orang Indonesia berbahasa Arab atau Inggris dengan aksen Indonesia.
b.      Telaah mengenai kontak bahasa  di dalam situasi kedwibahasaan (bilinguallisme)
Dwibahasaan yang mengenal atau mengetahui dua bahasa  atau lebih merupakan wadah tempat terjadinya kontak bahasa. Semakin besar kuantitas dwibahasaan yang seperti ini semakin intensif pula kontak antara kedua bahasa. Kontak bahasa  menimbulkan fenomena saling mempengaruhi. Bahasa  mana yang berpengaruh besar tergantung kepada tingkat pengusaan bahasa  asing sang dwibahasaan. Bila yang bersangkutan lebih menguasai bahasa  ibu maka bahasa  ibu itulah yang banyak mempengaruhi B2. Sebaliknya, karena suatu sebab, penguasaan B2 melebihi penguasaan B1 maka giliran B1 lah yang dipengaruhi oleh B2. Dalam taraf permulaan pembelajaran B2 dapat dipastikan bahwa bahasa  ibu sangat menonjol terhadap B2. Bila pengaruh itu tidak sejalan dengan sistem B2 maka terjadilah interferensi B1 terhadap B2, dan interferensi merupakan sumber kesulitan dalam belajar B2 dan juga penyebab kesalahan berbahasa.
c.       Telaah teori
Sumber ketiga sebagai penguat hipotesis anakon adalah teori belajar, terutama teori transfer. Transfer maksudnya suatu proses yang melukiskan penggunaan tingkah laku, yang telah dipelajari, secara otomatis, spontan dalam usaha memberikan response baru. Transfer dapat bersifat negative atau positif. Transfer negative terjadi kalau sistem B1 yang telah dikuasai digunakan dalam B2, sedang sistem itu berbeda dalam kedua bahasa. Sebaliknya kalau sistem tersebut sama maka terjadilah transfer positif.[6]
3.      Tuntutan Pedagogis Analisis Kontrastif
Kesulitan dalam belajar B2 serta kesalahan dalam berbahasa yang umum dialami oleh para siswa yang mempelajari B2 atau bahasa asing menyebabkan adanya tuntutan perbaikan pengajaran bahasa asing tersebut. Hal inilah yang merupakan tuntutan pedagogis terhadap anakon. Ada empat langkah yang merupakan tanggapan anakon dalam usaha memperbaiki pengajaran bahasa, yaitu:
a)      Pengidentifikasian perbedaan struktur bahasa
b)      Prakiraan kesulitan dan kesalahan berbahasa
c)      Penyusunan urutan bahan ajaran
d)     Penyampaian bahan ajaran
Kita mulai dengan langkah pertama, mengidentifikasi perbedaan struktur bahasa B1 dan B2 yang akan dipelajari siswa diperbandingkan. Perbandingan bahasa ini mengangkut segi linguistik. Satu hal yang menjadi tujuan langkah pertama ini adalah terlukisnya perbedaan antara B1 dan B2 yang akan dipelajari siswa.
Langkah kedua, memperbaiki atau memperkirakan kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa. Hasil perbandingan struktur bahasa berupa identifikasi perbedaan antara B1 dan B2. berdasarkan identifikasi ini disusunlah perkiraan kesulitan belajar yang akan dihadapi oleh siswa dalam belajar B2. Kesulitan belajar inilah salah satu sumber dari kesalahan berbahasa.
Langkah ketiga, menyusun serta mengurutkan bahan ajaran. Perbandingan struktur menghasilkan identifikasi perbedaan. Identifikasi perbedaan dipakai sebagai dasar memperkirakan kesulitan serta kesalahan berbahasa. Hal terakhirt inilah yang dipakai sebagai dasar untuk menentukan urutan atau susunan bahan pengekaran B2. karena isi dari identifikasi perbedaan antara dua bahasa selalu berbeda, maka buku teks yang seragam bagi semua siswa di semua daerah belajar B2 tidak relevan lagi.
Langkah keempat berkaitan dengan cara penyampaian bahan. Siswa yang belajar B2 sudah mempunyai kebiasaan tertentu dalam bahasa ibunya. Kebiasaan ini harus diatasi agar tidak lagi mengintervensi ke dalam B2. pembentukan kebiasaan dalam B2 dilakukan dengan penyampaian bahan pelajaran yang telah disusun berdasarkan langkah pertama, kedua dan ketiga dengan cara-cara tertentu. Cara-cara yang dianggap sesuai antara lain : peniruan, pengulangan, latihan-runtun (drills) dan penguatan (hadiah dan hukuman). Dengan cara ini, diharapkan para siswa mempunyai kebiasaan ber-B2 yang kokoh dan dapat mengatasi kebiasaan dalam ber-B1.[7]
5.   Interferensi Dan Transfer
Dalam anakon dibedakan antara interferensi dan transfer. Istilah interferensi digunakan pada penutur bilingual yang secara dasar dan familiar mengetahui dua bahasa  tersebut dan untuk mencapai kedekatan informasi atau untuk menunjukkan prestise, ia menggunakan campuran dari dua bahasa  tersebut. Di sini timbullah alih kode atau campur kode.
Sedangkan istilah transfer digunakan untuk pindahan bahasa  yang menyebabkan kesalahan karena bentuk-bentuk bahasa itu tidak sama atau penggunaannya tidak sama.[8]
Untuk keperluan anakon dua konsep ini sudah sering dipakai. Proses pengalihan kebiasaan ber-B1 ke dalam ber-B2 disebut transfer. Sedangkan kesalahan ber-B2 disebut transfer. Sedangkan kesalahan ber-B2 sebagai akibat kebiasaan ber-B1 yang tidak sama disebut interferensi. Dengan demikian, transfer negative menjadi sama dengan interferensi dalam ber-B2.
6.   Metodologi Analisis Kontrastif
Sebuah kesepakatan bahwa memperbandingkan kedua bahasa secara menyeluruh tidaklah mungkin dan tidak praktis. Para pakar bahasa Inggris menganjurkan pendekatan “polisistemik” yang berdasarkan asumsi bahwa bahasa itu pada hakikatnya merupakan “system of systems”. Oleh karena itu, yang diperbandingkan hanyalah “system” kedua bahasa, misalnya sistem fonologi, sistem morfologi.
Selain itu ada pakar linguist yang menyatakan bahwa anakon hanya berfungsi sebagai penjelas dan bukan peramal, yang menyatakan bahwa sebaiknya anakon membatasi diri pada perbandingan bagian-bagian bahasa dan menganalisis bagian tata bahasa yang mendatangkan kesulitan bagi siswa. Pendekatan polisistemik diatas berkaitan dengan penyelesaian secara umum, sedangkan masalah yang lebih pelik dan kritis adalah “comparability” atau “keterbandingan”. Di dalamnya tersirat adanya sebuah pertanyaan apa yang harus didekatkan atau disejajarkan untuk diperbandingkan, dalam hal ini dapat dipandang dari tiga segi yakni :
a. Kesamaan Struktur
b. Kesamaan Terjemahan
c. Kesamaan Struktur dan Terjemahan.[9]
7.   Ruang Lingkup Kajian Anakon
Anakon meliputi dua aspek yaitu : aspek linguistik dan aspek psikologis. Aspek linguistik berkaitan dengan struktur pemakaian bahasa dan yang paling mendapat perhatian adalah kontrastif struktur fonologi, karena diasumsikan bahwa sangat berperan dalam pengajaran B2.
Sedangkan menurut Stock Well pelafalan bukanlah yang terpenting akan tetapi yang terpenting adalah tata bahasa dan semantik.
Adapun cakupan anakon dalam aspek linguistik, masih kurang mendapat perhatian, Jcobovits menyatakan bahwa keterampilan berbahasa dalam bahasa kedua ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah interferensi. Jcobovits menyatakan keterampilan berbahasa dalam bahasa kedua adalah kumulasi fungsi dari keterampilan berbahasa ibu, latihan dalam bahasa ibu, dan latihan dalam bahasa kedua serta hubungan struktur bahasa ibu dan bahasa kedua.[10]
8.   Kritik Terhadap Analisis Kontrastif
Walaupun anakon tetap mempunyai manfaat dalam kurun waktu tertentu, ia akhirnya tidak luput dari kritik. Berdasarkan literatur tentang anakon dan kritik terhadap anakon, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Perbedaan tidak selalu menimbulkan kesukaran. Kesukaran tidak identik dengan perbedaan. Perbedaan kesukaran berkaitan dengan deskripsi linguistik, sedangkan kesukaran berkaitan dengan proses psikologis.
b. Kesukaran dan kesalahan berbahasa tidak selalu dapat diprediksi, terkadang kesalahan dan kesukaran yang telah diprediksi tidak terjadi atau sebaliknya.
c.  Interferensi bukan merupakan penyebab utama kesalahan berbahasa
d. Bahan pengajaran tidak utuh dan menyeluruh hanya bersifat fragmen saja.
e.  Anakon kurang memperhatikan faktor-faktor non struktural
f. Aspek linguistik terlalu bersifat teoritis dan terlalu detail sehingga sukar dipahami dan dipraktekkan kecuali oleh pakar lingustik.
g.  Teori linguistik struktural yang digunakan dianggap kurang memadai karena teori linguistik struktural tidak mempunyai kategori yang bersifat umum yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi setiap bahasa dengan cara yang sama.
h.  Aspek bahasa yang diperbandingkan belum menyeluruh.
Para pendukung anakon memberi tanggapan terhadap kritik-kritik tersebut namun yang perlu dipertegas pembedaan antara “tata bahasa ilmiah kontrastif” dan “tata bahasa kontrastif untuk pengajaran”, yang pertama bersifat teoritis sedang kedua tata bahasa edukatif atau pedagogis merupakan penerapan terhadap tata bahasa ilmiah.[11]
9.   Implikasi Pedagogis Analisis Kontrastif
Pada awalnya Analisis Kontrastif dalam mengatasi berbagai persoalan pengajaran B2 tetapi harapan tersebut tidak seluruhnya terwujud, hal demikian itu sebagian disebabkan oleh kekurangcermatan dalam mempraktekkan anakon dan kelemahan anakon itu sendiri, selanjutnya terlepas dari anakon itu tetap memberikan kontribusi yang berarti bagi pengajaran B2 serta keharusan untuk menyempurnakan teori dan landasan yang digunakan.
Adapun implikasi anakon dalam pengajaran B2 terlihat dalam segi-segi :
a.  Penyusunan materi pengajaran yang didasarkan kepada butir-butir yang berbeda antara B1 dan B2.
b.  Penyusunan tata bahasa pedagogis yang didasarkan kepada teori linguistik yang digunakan.
c. Penataan kelas secara terpadu dimana B1 digunakan sebagai pembantu dalam pengajaran B2.
d. Penyajian materi pengajaran secara langsung.
1) Menunjukkan persamaan dan perbedaan B1 dan B2
2) Menunjukkan butir-butir yang mungkin mendatangkan kesalahan dalam B2.
3) Menganjurkan cara-cara mengatasi interfensi.
4) Memberikan latihan intensif pada butir-butir yang berbeda.[12]
Jadi anakon tetaplah fungsional, anakon dapat memprediksi butir-butir tertentu dari suatu bahasa yang potensial mendatangkan interferensi. Walaupun tidak secara tepat menunjukkan kesalahan akibat interferensi tersebut namun anakon dapat menjelaskan sebab musabab kesahan tersebut.


[1]Henry Guntur Tarigan. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa, (Bandung : Angkasa, 1990),. hlm. 4
[2] Pranowo, Analisis Pengajaran Bahasa, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), hal 42
[3] Ibid, hal.42
[4] Henry Guntur Tarigan., Op.Cit. hal. 5
[5] Ibid, hal. 5-6
[6] Ibid., hal. 7-8
[7] Ibid, hal. 9-11
[8] Jos Daniel Parera, Op.Cit., hal. 46-47
[9] Henry Guntur Tarigan,Op.Cit, hal. 20
[10] Ibid, hal. 22-26.
[11] Ibid, hal. 32-33
[12] Ibid, hal. 40 – 41. 

Morfologi


Morfologi
Morfologi adalah bagian linguistik yang mempelajari morfim. Morfologi mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk, dan klasifikasi kata-kata. Dalam Linguistik bahasa Arab morfologi ini adalah tasrif yaitu perubahan satu bentuk (asal) kata menjadi bermacam-macam bentukan untuk mendapatkan makna yang berbeda, yang tanpa perubahan ini, makna yang berbeda tak akan terlahirkan.[1]
Dari definisi tersebut ada tiga hal yang dipelajari dalam morfologi, yakni :
a. bentuk
b. bentuk kata dan perubahan bentuk kata
c. makna yang muncul akibat perubahan tersebut[2]
Dengan kata lain, secara struktural objeknya adalah morfem pada tingkat terendah dan kata pada tingkat tertinggi. Sebenarnya setelah morfem masih ada satuan yang lebih kecil, yakni fonem. Tetapi satuan itu bukan wewenang morfologi, melainkan menjadi fonologi. Juga setelah kata masih ada satuan yang lebih besar yakni frase, tetapi hal itu bukan merupakan urusan morfologi melainkan wewenang sintaksis.


[1] Drs. A. Chaedar Alwasilah,  LINGUISTIK SUATU PENGANTAR, (Bandung : Angkasa, 1990),. hlm. 101.
[2] Mansoer Pateda, Op.Cit., hal. 71

Linguistik


Linguistik
1.      Pengertian
Linguistik berarti ilmu bahasa. Kata “linguistik” berasal dari kata Latin yaitu lingua (bahasa). Dalam bahasa-bahasa “Roman” (yaitu bahasa-bahasa yang berasal dari bahasa Latin) masih ada kata-kata serupa dengan lingua, yaitu langue dan langage dalam bahasa Perancis dan lingua dalam bahasa Itali. Bahasa Inggris memungut dari bahasa Perancis kata yang kini menjadi language. Istilah “linguistics” dalam bahasa Inggris berkaitan dengan kata language itu, seperti dalam bahasa Perancis istilah linguistique berkaitan dengan langage. Dalam bahasa Indonesia “linguistik” adalah bidang ilmu bahasa.[1]
Linguistik atau ilmu bahasa adalah disiplin ilmu yang mempelajari secara luas dan umum. Secara luas berarti cakupannya meliputi semua aspek komponen bahasa. Secara umum berarti sasarannya tidak hanya terbatas pada salah satu bahasa saja (misalnya bahasa Indonesia saja), akan tetapi semua bahasa yang ada di dunia.[2]
Ronald W. Langacker mengatakan, “Linguistics is the study of human language”. Menurutnya linguistik adalah studi bahasa manusia. John Lyons berpendapat: “Linguistics may be defined as the scientific study of language”. Dengan kata lain linguistik adalah studi ilmiah tentang bahasa.[3]
Dapat ditarik kesimpulan bahwa linguistik adalah studi bahasa manusia secara ilmiah. Dengan mempelajari linguistik berarti kita mempelajari teori bahasa pada umumnya dan bukan teori bahasa tertentu. Dengan mempelajari linguistik kita mendapat keterangan tentang objeknya, tataran-tatarannya, struktur bahasanya, sejarahnya, dan teori tentang aliran yang berkembang dalam linguistik. Pendek kata teori bahasa pada umumnya.
2.      Objek Linguistik
S.J. Warouw berpendapat suatu pengetahuan dapat dianggap sebagai ilmu apabila memenuhi syarat :
a.  Pengetahuan itu harus teratur (sistematis) sehingga merupakan suatu disiplin.
b.  Pengetahuan itu harus bersifat progresif artinya terus-menerus mengusahakan tingkatan lebih tinggi.
c.  Mempunyai otonomi artinya bebas dalam kalangan sendiri. [4]
Melihat syarat-syarat ini, linguistik memang merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan atau merupakan suatu disiplin. Linguistik mempunyai objek. Objeknya adalah bahasa. Bahasa yang dimaksud di sini adalah bahasa manusia.
Akan tetapi pengertian bahasa yang bagaimana yang menjadi objek linguistik tersebut belum tentu jelas. Karena itu marilah kita teliti berbagai arti yang dimiliki istilah “bahasa” itu.
Pertama, istilah bahasa sering dipakai dalam arti kiasan, seperti dalam ungkapan “bahasa tari”, “bahasa alami”, “bahasa tubuh”, dan lain sebagainya. Perlu diperhatikan bahwa arti kiasan seperti itu tidak termasuk arti istilah “bahasa” dalam ilmu linguistik.
Kedua, ada pengertian istilah bahasa dalam ungkapan seperti “ilmu bahasa”, “bahasa Indonesia”, “bahasa Arab”, “bahasa Inggris”, dan lain sebagainya. Hanya dalam pengertian kedua inilah bahasa menjadi objek ilmu linguistik. Di samping itu, kita juga membeddakan bahasa tutur dan bahasa tulis. Bahasa tulis dapat disebut “turunan” dari bahasa tutur. Bahasa tutur merupakan objek primer ilmu linguistik. Sedangkan bahasa tutur merupakan objek sekunder linguistik.[5]
3.      Subdisiplin Linguistik
a. Linguistik ditinjau dari pembidangannya
1) Linguistik Umum (general linguistics) yang merumuskan secara umum semua bahasa manusia yang bersifat alamiah sehingga menghasilkan teori bahasa yang bersangkutan.
2)   Linguistik terapan (aplied Linguistics) adalah ilmu yang berusaha menerapkan hasil penelitian dalam bidang Linguistik untuk keperluan praktis (bahasa sebagai alat)
3)   Linguistik teoritis, yang mengutamakan penelitian bahasa dari segi internal (bahasa sebagai bahasa)
b. Linguistik ditinjau dari segi sifat telaahnya.
1)   Linguistik mikro yang melihat bahasa hanya sebagai bahasa, jadi bersifat internal.
2)   Linguistik makro yang menelaah kegiatan bahasa pada bidang-bidang lain seperti dalam bidang ekonomi, sejarah dan seterusnya, bahasa digunakan sebagai alat untuk melihat bahasa dari sudut pandang di luar bahasa.
c.  Linguistik ditinjau dari segi pendekatan obyek.
1)   Linguistik deskriptif yang melihat bahasa sebagaimana adanya.
2)   Linguistik historis komparatif, yakni membandingkan dua bahasa atau lebih pada periode yang berbeda.
3)   Linguistik kontrastif yakni membandingkan bahasa pada periode tertentu atau sezaman
4)   Linguistik sinkronis yang mempersoalkan bahasa pada masa tertentu yang tidak memperbandingkan dengan bahasa lain.
d. Linguistik
  Dalam hal ini Linguistik dapat dilihat dari alat yang digunakan untuk membantu penganalisisan bahasa.
e.  Linguistik ditinjau dari segi ilmu lain
1)   Dari psikologi disebut psikolinguistik yaitu : untuk menganalisis perolehan bahasa bahkan penampilan bahasa akibat gangguan psikologis.
2)   Dari segi sosiologi disebut sosiolinguistik yaitu : untuk mempelajari dan menyelesaikan konflik bahasa dan perencanaan bahasa di daerah tertentu.
3)   Dari segi antropologi disebut antropolinguistik yang mempelajari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa dan kebudayaan masyarakat pada umumnya.[6]
4.      Tataran Linguistik
Telah kita ketahui bahwa Linguistik berobyekan bahasa untuk memudahkan analisis, para ahli bahasa (linguist) membuat tataran-tataran bahasa dan setiap linguist berbeda-beda dalam membuat tataran bahasa tersebut. Tataran-tataran itu bahkan menjadi subdisiplin tersendiri.
Ketika memperhatikan orang yang sedang berbicara sebenarnya kita mendengarkan bunyi-bunyi bahasa, bunyi-bunyi itu berfungsi dalam ujaran. Ilmu yang mempelajari bahasa yang berfungsi dalam ujaran disebut fonologi, bunyi- bunyi yang kita dengar tersebut berada dalam suatu deretan yang biasa disebut kalimat. Ilmu yang mempelajari tata kalimat disebut sintaksis.
Selanjutnya satuan bunyi yang berderet (kalimat) tersebut, kalau kita segmentasikan, kita memperoleh satuan yang lebih kecil lagi yang disebut kata, ilmu yang mempelajari bentuk kata dan perubahan kata disebut morfologi. Obyek morfologi adalah morfem dan kata.
Kalau morfem dengan morfem kita gabungkan sering menimbulkan perubahan fonem antara sesamanya. Ilmu yang menjelaskan perubahan seperti itu disebut morfofonologi atau morphophonemics. Dan kalau kita perhatikan lebih jauh, baik kata maupun kalimta terdapat amanat yang dikandungnya sehingga pembicara dan orang yang diajak berbicara dapat berkomunikasi. Dengan kata lain baik pada kata maupun pada kalimat terdapat unsur dalam yang dikandungnya yang biasa disebut semasiologi atau lebih dikenal dengan simantik.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui tataran Linguistik itu meliputi :
a. Fonologi
b. Morfologi
c. Morfofonologi
d. Sintaksis
e. Semantik[7]
Untuk mendukung dalam kepentingan penelitian ini, maka penulis akan membahas tentang morfologi secara tersendiri.


[1] J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,2006), hal 3.
[2] Soeparno, Op. Cit, hlm. 21.
[3] Mansoer Pateda,  Linguistik Terapan, (Flores: Nusa Indah, 1991), hal. 2
[4] Ibid., hal. 2
[5] Op. Cit., J.W.M. Verhaar, hal. 6-7
[6] Ibid., hal. 45-50
[7] Mansoer Pateda, Op.Cit, hal. 54
oFoot< � R f xU� 0 pan lang=IN style='font-size:10.0pt;font-family: "Times New Roman","serif";mso-fareast-font-family:"Times New Roman";mso-ansi-language: IN;mso-fareast-language:IN;mso-bidi-language:AR-SA'>[3] Asep Ahmad Hidayat,  FILSAFAT BAHASA Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) hlm. 27
[4]  Muljanto Sumardi, Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992) hlm. 75
[5] Soeparno, Op.Cit ,  hlm. 11 - 16
[6] Ibid., hlm. 17-19

Bahasa


A.    Bahasa
1.      Pengertian
Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan arti bahasa yaitu antara lain:
1)      Sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.
2)      Perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, negara, daerah, dsb).
3)      Percakapan (perkataan) yang baik, sopan santun, tingkah laku yang baik.[1]
Dengan demikian, maka bahasalah yang mengenal individu-individu dalam masyarakat manusia, bahasalah yang menyatakan cita-cita dan tujuan mereka dalam hidup, kemudian bahasa itu merupakan faktor efektif dalam perkembangan dan kemajuan suatu masyarakat karena bahasa itu adalah cermin yang bersih yang mana menentukan gambar sebenarnya mengenai kehidupan manusia. Dengan kata lain bahwa bahasa atau melalui bahasa kita dapat mengetahui tingkat alam, pikiran suatu umat atau bahasa, dengan bangsa kita dapat mengetahui tingkat kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa.
a.      Fungsi Bahasa
Secara umum bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi sosial. Di dalam masyarakat ada komunikasi atau hubungan antar anggota. Untuk keperluan itu dipergunakan suatu wahana yang dinamakan bahasa. Dengan demikian, setiap masyarakat dipastikan memiliki dan menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa, dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat.[2]
Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya mengenai fungsi bahasa. Roman Jakobson mengemukakan bahwa bahasa mempunyai 6 fungsi. Fungsi itu ialah :
1)   Emotive Speech
      Ujaran berfungsi psikologis yaitu dalam menyatakan persaaan sikap, emosi si penutur.
2)   Phatic Speech
      Ujaran berfungsi memelihara hubungan sosial dan berlaku pada suasana tertentu.
3)   Cognitive Speech
      Ujaran yang mengacu kepada dunia yang sesungguhnya yang sering diberi istilah denotatif atau informatif.
4)      Rhetorical Speech
Ujaran berfungsi mempengaruhi dan mengkondisi pikiran dan tingkah laku para penanggap tutur.
5)      Metalingual Speech
Ujaran berfungsi untuk membicarakan bahasa, ini adalah jeis ujaran yang paling abstrak karena dipakai dalam membicarakan kode komunikasi.
6)      Poetic Speech
Ujaran yang dipakai dalam bentuk tersendiri dengan mengistimewakan nilai-nilai estetikanya.[3]     
Para ahli bahasa juga banyak yang berbeda pendapat mengenai pembagian fungsi bahasa. Ada pendapat yang mengatakan bahwa fungsi bahasa itu dapat dibagi menjadi lima kelompok yang besar yaitu, personal, interpersonal, direktif, referensial, dan imajinatif. Fungsi personal adalah kemampuan pembicaraan atau penulis untuk menyatakan pikiran atau perasaannya, misalnya cinta, kesenangan, kekecewaan, kesusahan, kemarahan, kemasgulan dan sebagainya. Fungsi interpersonal adalah kemampuan kita untuk membina dan menjalin hubungan kerja dan hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan ini membuat hidup dengan orang lain baik dan menyenangkan. Termasuk dalam kategori ini, misalnya rasa simpati, rasa senang atas keberhasilan orang lain, kekhawatiran dan sebagainya, yang dinyatakan dalam bahasa. Fungsi direktif memungkinkan kita untuk dapat mengajukan permintaan, saran, membujuk, meyakinkan dan sebagainya. Fungsi referensial adalah yang berhubungan dengan kemampuan untuk menulis atau berbicara tentang lingkungan kita yang terdekat dan juga mengenai bahasa itu sendiri. Fungsi imajinatif adalah kemampuan untuk dapat menyusun irama, sajak, cerita tertulis maupun lisan. Fungsi ini sukar diajarkan, kecuali kalau siswa memang  berbakat untuk hal-hal semacam itu.[4] Fungsi-fungsi bahasa tersebut di atas akan nampak dalam komunikasi.
b.      Perkembangan Ilmu Bahasa
Sejarah perkembangan ilmu bahasa pada dasarnya dapat dikatakan bermula dari dua dunia, yaitu dunia Barat dan dunia Timur. Secara kebetulan bermulanya sejarah bahasa di dunia Barat dan di dunia Timur hampir bersamaan masanya, yaitu sekitar abad IV sebelum Masehi. Sejarah perkembangan bahasa di dunia Barat tersebut diawali dari Yunani Kuno, sedangkan perkembangan ilmu bahasa di dunia Timur di awali dari India.
1)      Perkembangan Ilmu Bahasa di Dunia Barat
Sejarah perkembangan ilmu bahasa di dunia Barat dimulai sejak dua puluh empat abad yang lalu, yaitu abad IV sebelum Masehi. Plato (429-348 SM) menelorkan pembagian jenis kata berjasa Yunani Kuno dalam kerangka telaah filsafatnya. Ia sebenarnya tidak berfikir bahwa ia akan menjadi orang pertama yang memikirkan bahasa dan ilmu bahasa. Dalam kerangka telaah filsafatnya itu Plato membagi jenis kata bahasa Yunani Kuno menjadi dua golongan yakni anoma dan rema. Secara awam anoma dapat disejajarkan dengan kata benda, sedangkan rhema dapat disejajarkan dengan kata kerja atau kata sifat. Pembagian ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles, murid Plato, dengan menambahkan jenis ketiga yaitu syndesmos, yaitu jenis kata yang tidak pernah mengalami perubahan bentuk. Sampai masa ini perkembangan bahasa terbatas pada telaah kata saja, khususnya tentang jenis kata.
Tata bahasa atau gramatika mulai diperhatikan pada akhir abad kedua Sebelum Masehi (130 SM) oleh Dyonisius Thrax. Buku tata bahasa yang pertama disusun itu berjudul “Techne Gramatike”. Buku inilah yang kemudian menjadi panutan para ahli tata bahasa yang lain. Para ahli tata bahasa yang mengikuti Thrax ini kemudian dikenal sebagai penganut aliran tradisionalisme. Pada zaman ini pembagian jenis kata meliputi: (1) nomina, (2) protonima, (3) artikel, (4) verba, (5) adverbia, (6) preposisi, (7) partisiplum, dan (8) konjugasi.
Ketika bangsa Romawi menaklukkan bangsa Yunani pun dikenakan pada bahasa Latin. Gramatisasi yang dikenal pada masa itu ialah Donatius (abad IV) dan Priscianus (abad V). Pembagian jenis kata pada saat itu menjadi tujuh, yaitu: nomina, protomina, verba, adverbia, preposisi, partisiplum, dan konjugasi/ konjugasio. Sedangkan pada abad pertengahan pembagian jenis kata dilakukan oleh Modistae. Ia membagi jenis kata menjadi delapan, yaitu: nomina, protomina, verba, adverbia, preposisi, partisiplum, konjugasio dan interjeksi. Pada masa Renaisance pembagian jenis kata kembali menjadi tujuh dengan menghilangkan jenis verba.
Sejak masa Yunani Kuno sampai akhir abad XIX ilmu bahasa lebih banyak menggeluti kata, khususnya masalah pembagian jenis kata. Ilmu bahasa komparatif yang juga berkembang pesat pada abad XIX hanya berhasil membandingkan kata-kata.
Awal abad XX muncul karangan Ferdinand de Saussure yang berjudul “Course de Linguistique Generale” (1916) yang merupakan angin segar bagi perkembangan ilmu bahasa moderen. Konsepnya tentang signifiant dan signifie merupakan kunci utama untuk memahami hakikat bahasa. Konsep lain yang ditampilkan antara lain Parole, Langue, dan Langage, representatif grafis serta deretan sintakmatik dan paradigmatik. Pandangan Saussure ini kemudain berkembang menjadi aliran strukturalisme tidak lagi menggunakan kriteria filosofis. Kriteria yang dipakai adalah kriteria struktur yang meliputi struktur morfologis, fraseologis, dan klausal.[5]
2)      Perkembangan Ilmu Bahasa di Dunia Timur
Sejarah perkembangan ilmu bahasa di dunia Timur dimulai dari India pada lebih kurang abad empat sebelum masehi, jadi hampir bersamaan dengan dimulainya sejarah ilmu bahasa di Barat. Perkembangan bahasa di dunia Timur ini ditandai dengan munculnya karya Panini yang berjudul “Vyakarya”. Buku tersebut merupakan buku tata bahasa Sansekerta yang sangat mengagumkan dunia, karena pada zaman yang sedini itu telah dapat mendeskripsikan bahasa Sansekerta secara lengkap dan seksama, teristimewa dalam bidang fonologinya. Huruf Devanagarai yang dipakai untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa Sansekerta demikian lengkap. Setiap bunyi diupayakan dilambangkan secara khas.
Di dunia tidak ada bahasa yang secermat ini sistem bunyi dan sistem tulisannya. Banyak ahli bahasa Barat yang kagum ddan tereperanjat setelah mengetahui bahwa tata bahasa Sansekerta pada zaman sedini ini sudah memiliki deskripsi yang tak ubahnya dengan deskripsi ahli bahasa struktural di Barat paada awal abad dua puluh. Bahkan banyak yang menilai bahwa deskripsi linguistik Panini ini merupakan deskripsi struktural paling murni. Sayangnya puncak strukturalisme terputus sama sekali dan tidak ada kelanjutannya barang sedikitpun.[6]


[1] Depdikbud, Op. Cit, hlm. 66.
[2] Soeparno, Dasar-dasar Linguistik Umum, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 5
[3] Asep Ahmad Hidayat,  FILSAFAT BAHASA Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) hlm. 27
[4]  Muljanto Sumardi, Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1992) hlm. 75
[5] Soeparno, Op.Cit ,  hlm. 11 - 16
[6] Ibid., hlm. 17-19